width:

27 Desember 2008

Ahlussunnah wal -Jama’ah ‘Agama, Madzhab Atau Manhaj al-Fikr'

Oleh : Muhammad Idris
Terminologi ahlusunnah wal-Jama’ah yang sering disingkat dengan sebutan aswaja, atau bahkan lebih akrab dengan terma sunni, adalah terminologi sederhana yang sering kali kita dengar

Sebagian kalangan memahami ahlussunah sebagai Islam, sebagian lain mendefinisikan aswaja sebagai sebuah madzhab, dan ini merupakan definisi yang sudah masyhur di kalangan umat islam, dikatakan masyhur karena mendefininisikan aswaja sebagai madzhab memiliki akar yang sangat kuat, hal ini bisa kita lihat dalam karya-karya ulama klasik atau bahkan karya ulama pribumi, yakni Syeikh ba’ fadhal at-tubani dalam karyanya yang berjudul kawakib lama’ah, sebuah karya yang mengupas tentang akidah aswaja. Bahkan ada lagi yang mengartikan aswaja sebagai golongan yang sering melakukan tahlilan, muludan (dibaiyyah, barjanzi) dan lain-lain.

Mengidentikkan aswaja dengan islam memberikan implikasi bahwa selain aswaja adalah non-islam, sikap ekslusif dan fanatisme buta nampak sekali pada kepribadian mereka. Dengan demikian pemahaman seperti ini secara tidak langsung menyeret aswaja sebagai sebuah firqah (parpol). Secara historis pemikiran seperti itu sangat tepat untuk diterapkan pada saat ketegangan sunni-syi’i menajam. Karena itu relevankah mengidentikkan aswaja dengan islam pada era saat ini?
Sementara jika difahami sebagai sebuah madzhab, eksistensi aswaja akan semakin mengkristal menjadi sebuah institusi, jelas pandangan ini paradoks dengan fakta sejarah kelahiran aswaja. Ringkasnya kedua pola berfikir di atas menunujukkan pemikiran yang kaku, rigid dan ekslusif.

sedangkan pola “purifikasi” penyempurnaan agama yang digembar-gemborkan kalangan yang mengatasnamakan dirinya ahlusunnah, Sungguh disayangkan sikapnya yang ekslusif, mereka dengan mudah men-takfirkan kelompok lain yang tidak sehaluan dengan mereka. Padahal hujjatul islam abu Hamid al-Ghazali dalam karyanya yang berjudul faysal at-tafriqah (pengurai benang kusut) dengan tegas mengkritik golongan asyariyyah, hanbilah dan muktazilah yang dengan mudah mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut al-Ghazali menyatakan, bahwa kita tidak boleh mengkafirkan orang lain selama orang lain tersebut tidak menyekutukan Allah dan mengakui atas ke-pamungkasan nabi Muhammad SAW.

Pemahaman ketiga muncul untuk menjadikan aswaja tidak lagi ekslusif, yakni aswaja diidentikkan dengan manhaj al-Fikr (teori berfikir), awsaja tidak lagi diartikan sebagai sebuah madzhab, karena sejarah munculnya aswaja bermula dari pergolakan politik, untuk itulah diperlukan penafsiran baru mengenai aswaja, agar supaya aswaja tidak lagi menjadi penyebab konflik ideologi yang menjadikan islam terpecah belah.
Pemaknaan aswaja sebagai metode berfikir, memiliki cakupan yang sangat luas, karena kriteria aswaja adalah setiap aliran yang memiliki tiga prinsip dasar yakni:
1.konsep Ilahiyyah, artinya meng-Esakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya
2.Konsep Nubuwwah, yakni meyakini bahwa nabi Muhammad adalah nabi pamungkas
3.Konsep Ma’ad, adalah meyakini akan adanya hari kebangkitan

Pemaknaan aswaja sebagai metode berfikir diproyeksikan untuk mempersatukan ummat, tidak terkotak-kotak dan yang penting tidak mudah mengkafirkan orang lain.

WAllahul Haadi

04 November 2008

Ihya’ al-Fikr al-Islamiyyah

Upaya Memberangus Kejumudan Pemikiran
Oleh:Muhammad Idris

Tamhid

Gagasan yang mengatakan bahwasanya pemikiran adalah terbatas, dan karena alasan ini tidak bisa menangkap sesuatu yang tak terbatas, didasarkan pada suatu pandangan yang keliru tentang gerak pemikiran dalam pengetahuan.[M.Iqbal “The reconstruction of religion thought”]

Kejumudan pemikiran Islam mulai tercium semenjak pasca abad pertengahan Hijriah, dunia islam mengalami ‘problem stagnasi pemikiran’. Jatuhnya imperium Bagdhdad (Bani Abbasiyyah) pada tahum 656 H /1258 M semakin menambah lembaran hitam dalam sejarah umat islam, apalagi dengan lenyapnya andalusia sejak 970 H / 1492 M. Meski kemudian muncul nenerapa Dinasti Mamalik di Mesir, turki Usmani di kawasan Asia Tengah dan sebagian Eropa, Dinasti Shafawi di Persia (Iran) dan Mughal di India. Namun perjalanan untuk menggapai reputasi pemikiran emas para pendahulu (salafuna al-Shalih) belum menampakkan hasil yang memuaskan.[Prof.Dr.Said Aqil Siradj”Ahulussunah Wal-Jama’ah sebuah kritik historis]

Sementara menurut Arkoun, masa kejumudan berfikir dalam dunia islam dimulai sejak mangkatnya sang ‘maestro’ Ibnu khaldun pada abad ke 13 M hingga akhir abad ke 19 M. Sungguh !! sebuah masa kevakuman kejumudan yang sangat lama.

Selama lima ratus tahun yang lalu pemikiran agama dalam islam praktis tidak mengalami perkembangan. Ada suatu masa ketika pemikiran Eropa menerima inspirasi dari dunia Islam.Akan tetapi , fenomena yang paling jelas dari sejarah modern adalah bahwa secara spiritual dunia islam sedang bergerak ke arah Barat dengan kecepatan yang tinggi.


Tipologi mainstream pemikiran dalam menyikapi turats, menurut Prof.Dr. Said Aqil Siradj terpetakan menjadi dua kelompok, yang pertama adalah kelompok yang menggembar-gemborkan proyek ‘Tajdid al-Turats’, representasi dari kelompok ini adalah para akademisi dan para pemikir kontemporer, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang menghendaki untuk ‘membebek’ atau ‘bertaklid’ kepada produk pemikiran klasik secara verbalistis, representasi dari kelompok ini adalah para ‘pemberhala turats’ yang memiliki asumsi bahwa turats sanggup untuk melayani problematika kontemporer, kelompok ini sangat anti untuk melakukan pembaharuan.

Sementara bagi Dr. Athef al-Iraqi (seorang filsuf Mesir) tipologi pemikiran dalam wacana otentisitas (al-Ashalah) dan modernitas ( al-Mu’asharah) terpetakan menjadi tiga kelompok, pertama adalah aliran yang ingin mempertahankan otentisitas saja, pada gilirannya aliran ini akan ‘mensakralkan turats’, menurut mereka turats sangat identik dengan identitas dan dignity. Kedua, aliran yang mengambil modernitas saja, mereka beranggapan bahwa pembaharuan harus meniru Eropa, seperti yang telah dilakukan Jepang, mereka memandang sinis terhadap turats dan menganggapnya tidak berguna sama sekali, karena menurutnya turats terlahir dari situasi dan kondisi tertentu. Ketiga, aliran yang mencoba memadukan al-Ashalah dan al-Muasharah,al-Ashalah mewakili wacana Islam klasik, sedangkan al-Mu’asharah mewakili wacana Barat/Eropa. [Dr.Athef al-Iraqi, Orientalisme vis avis Oksidentalisme]


Berbagai tawaran metodologi yang diajukan oleh para pemikir-pemikir modern,
- meminjam istilah yang digunakan Wael B. Hallaq- dari metodologi utilitarian religius sampai utilitarian liberalis telah menjadi buah bibir bagi kalangan akademisi dan islamolog.

Bagi Athef, upaya pembaharuan hanya dapat dilakukan dengan melalui stimulansi terhadap tradisi takwil ( pentakwilan). Pembaharuan wacana keagamaan tidak akan mungkin berlangsung kecuali dengan menggunakan takwil sebagai pisau analisisnya. Kedua kita perlu merespon terhadap tuntutan zaman. Sementara Gamal al-Banna -seorang pemikir prolifik mesir- lebih cenderung untuk ‘merobek turats’ dan menggantikannya dengan turats baru. Baginya turats adalah sesuatu yang modern (baru) bagi masanya, oleh karenanya ‘tajdid al-turats’ adalah suatu keniscayaan.

Menurut hemat kami, dengan segala keterbatasan pergulatan intelektual penulis, metode yang ditawarkan oleh Gamal al-Banna tidaklah bijaksana, karena bersikap nihilistik terhadap turats adalah suatu kesalahan, disamping gamal al-Banna yang tidak menghargai kekayaan khasanah keislaman, juga terbukti turats dalam batas-batas tertentu masih memiliki relevansi untuk dilekukkan kedalam era kekinian dan kedisinian. Penulis cenderung sepakat dengan gagasan pembaharuan yang di tawarkan Dr. Athef, karena pembaharuan harus dimulai dengan membumikan tradisi takwil, atau dengan meminjam istilah yang digunakan Prof.Dr. Said Aqil pembaharuan hanya dalam ranah furu’iyyah bukan dalam ranah Ushuliyyah.

Ikhtitam

Pembaharuan pemikiran keislaman adalah sebuah ikhtiar memberangus kejumudan yang melanda dunia pemikiran islam selama lima ratus tahun, berbagai tawaran metodologi yang digulirkan oleh para pemikir kontemporer harus kita sikapi dengan arif dan obyektif, tradisi kritik harus terus kita lanjutkan sebagai upaya selektiftitas dalam menyikapi wacana-wacana kontemporer, para pemikir pun tidak berkenan jika orang lain ‘mendewakan’ dirinya atau mendogmakan pemikirannya, sebagaimana yang dilakukan oleh para akademisi yang menyebut dirinya sebagai kelompok progresif, kritik bukan berarti benci, sebaliknya apresiasi bukanlah venerasi. Selain itu agar pembaharuan tidak dinilai sporadis, maka diperlukan komunitas khusus yang tekun dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran islam.

Wallahu al-Hadi



08 Oktober 2008

MENYIBAK ‘TRAGEDI IBNU RUSHDI’

prolog
Adalah Ibnu Rusdhi seorang faqih,Qadhi dan filsuf kenamaan yang di barat dikenal dengan Averroes.Pemikiran beliau yang sering dikaji di kaum sarungan ‘Pesantren’ hanya lah produk pemikiran fiqh-nya yang tertuang dalam kitab yang berjudul Bidayah al-mujtahid..para santri belum akrab -untuk tidak mengatakan tidak akrab- dengan karya-karya beliau seperti Tahafut-tahafut al-falasifah (kitab yang berisikan penyerangannya terhadap pemikiran sang Hujjatul islam al-Ghazali yang menenyerang filsafat sebagaimana yang tertuang dalam dua karya al-Ghazali yang bertitel tahafut al-falasifah dan munqidz min al-Adhlalal ),atau kitab Fash al-Maqal yang membahas tentang kesesuaian akal dan wahyu atau filsafat dan agama.

Tulisan pendek ini tidak akan membahas penyerangan beliau terhadap pemikiran al-ghazali ,Tulisan pendek ini bermula dari kemusykilan saya ketika mencoba mempertanyakan pertanyaan « mengapa Ibnu Rushdi tidak begitu dikenal oleh orang islam dan mengapa dua kitab yang beliau tulis yakni tahafut at-tahafut dan fashl al-maqal tidak mendapat apresiasi oleh kaum muslimin ???????.Dengan segala keterbatasan pemahaman yang saya dapatkan,sebenarnya saya kesulitan untuk menyibak sisi sosiologis Rusdhi .Berbicara tentang Ibnu Rushdi adalah berbicara tentang akal yang pernah ditolak oleh masyarkatnya, dan diterima oleh masyarakat lain yaitu barat. Sangat sulit memang untuk membahas secara sosiologis kegagalan pemikiran Ibnu Rushdi dalam konteks Islam atau menyingkap sebab-sebab sosial yang mengakibatkan pemikiran Ibnu Rushdi gagal dilingkungan Islamnya sendiri. Padahal menurut Hasan Hanafi pemikiran Ibnu Rushdi adalah sebuah proyek besar yang ia persembahkan untuk masyarkatnya yaitu masyarakat Islam.
Barangkali sebelum kita menyingkap sebab-sebab sosial yang melatarbelakangi kegagalan diskursus pemikiran Ibnu Rushdi, agar tidak keluar dari pembahasan ini, ada tuntutan yang memaksa untuk menguraikan sosok al-Ghozali yang telah mampu membentuk diskursus hingga menjadi diskurus kekuasaan pada satu sisi, dan menjadi diskursus kewibawaan bagi masyarakat Islam pada sisi lain, Dua wajah diskursus ini, pertama, karena dimensi Asy’ari dalam diskursus al-Ghozali seorang teolog sekaligus seorang Faqih adalah merupakan dimensi yang memperkuat kekuasaan politik dan memberi legalitas dominasinya dan supermasinya yang diktator secara ideologis. Adapun yang kedua, adalah karena dimensi sufi yang dibantu dengan dua sisi sunni dan gnostisme, sehingga menarik kalangan umum dan khusus secara bersamaan. Disamping itu, diskursus Ghozali sengaja dibentuk oleh dirinya untuk kekuasaan politik pemerintahan sunni sebagai senjata idielogi dalam perseteruanya melawan kekuasan pemerintahan syi’ah.
Maka diatas semuanya, tidak aneh bila diskursus al-Ghozali merupakan diskursus yang telah menguasai dunia Islam sejak abad kelima hijriyah, dan kira-kira sampai sekarang. Julukan yang diperolehnya sebagai “hujjatu al-Islam” adalah merupakan julukan yang tidak pernah dan takkan pernah disandang sarjana lain,dan karya beliau yang berjudul Ihya’ ulumuddin merupakan karya ‘Teragung’ dalam sejarah literatur islam karena karya itu menempati posisi kedua setelah Quran menurut pandangan mayoritas masyarakat Islam. Tidak sembarang orang yang telah meninggikan posisi “ihya” dengan pujiannya yang telah menarik pandangan masyarakat Islam itu, diantaranya adalah Syekh Muhyiddin al-Nawawi. Beliau mengatakan “ Ihya hampir-hampir serupa dengan Quran” lebih lanjut beliau mengatakan “Apabila karya-karya Islam itu hilang, dan karya Ihya tetap ada, maka pasti terasa cukup”.
Dari uraian singkat ini, maka untuk membahas secara sosiologis kegagalan pemikiran Ibnu Rushdi dan kesuksesannya dapat kita batasi menjadi dua batasan penguraian.
Pertama, sebagaimana kita mengetahui bahwa filsafat Arab-Islam yang terpengaruh filsafat hellenisme telah berlanjut sampai mendiangnya Ibnu Rushdi tahun 1198 M. Maka bagaimana dan kenapa gerakan filsafat itu hilang dari daratan pemikiran Islam ?.
Kedua, kekuatan sosial dan bentuk idielogi apa yang memiliki pengaruh besar dalam kawasan pemikiran Islam sejak itu, tepatnya dimulai dari abad ketiga belas masehi ? sampai-sampai pemikir besar semacam Ibnu Khaldun (1406 M), perhatianya lebih besar kepada aliran sufi ketimbang aliran filsafat, bahkan dalam karyanya al- Muqaddimah, pasal dua puluh empat berbicara tentang kebatilan filsafat.
Kehidupan rasional dalam tradisi pemikiran filsafat Islam mengalami proses pasang surut, setelah Ibnu Rushdi meninggal dunia adalah merupakan titik kelemahan dinamika kreasi dan orisinalitas kesinambungan pemikiran filsafat, padahal sebelumnya, dalam beberapa dekade sejarah pemikiran filsafat Islam mengukir sejarah gemilang, Sameh Zaen menunjukan bahwa pasca meniggalnya Ibnu Rushdi merupakan akhir redupnya kobaran pemikiran kreatif yang telah menyinari dunia Islam dalam beberapa abad.
Banyak kalangan menunjukan bahwa kegagalan pemikiran Ibnu Rushdi sangat disebabkan oleh peran ideologi yang dimainkan oleh para fuqaha Maliki yang ada diseluruh barat Islam (Maghrib-Andalusia), karena sejak kepandainya dalam bidang filsafat dan sikap keterbukaanya telah mengantarkan pada posisi penting dalam pemerintahan al-Muwakhidun, tepatnya pada masa kerajaan Abu Ya’qub bin Abdul Mukmin bin Ali, berkat jasa baik sahabat karibnya Ibnu Thufail yang memperkenalkan dirinya kepada penguasa, sehingga terjalin erat dengan kerajaan.
Walaupun yang perlu di ingat bahwa kenyataan yang sangat menentukan hubungan erat antara Ibnu Rushdi dengan penguasa ini adalah tertumpu pada persoalan landasan ideologi dan pemikiran, karena pijakan dasar ideologi pemerintahan al-Muwakhidun tersumber dari pesan keagamaan yang mengembangkan bentuk filosofis. Pandangan ini merupakan hasil gagasan pendirinya Muhammad Bin Toumert yang membangun akidah negara berdasarkan korelasi antara wahyu dan akal, jargon yang digulirkan untuk mengembangkan landasan akidah itu adalah “Meninggalkan taklid dan kembali pada ushul”, hal inilah yang kemudian menjadi kontribusi besar bagi pribadi Ibnu Rushdi dalam merancang bangun pemikiran filsafat melalui proyek pembacaan kembali kepada ushul filsafat, terutama filsafat Ariestoteles.
Berawal dari hubungan pemikiranya dengan kebijakan al-Muwakhidun ini, Ibnu Rushdi dijadikan tempat rujukan persoalan keagamaan masyarakatnya, selain itu, ia menjadi dokter khusus kerajaan, menggantikan sahabat karibnya Ibnu Thufail yang usianya semakin senja. Pada masa ini (580 Hijriyah) Ibnu Rushdi merilis karya filsafatnya, terbukti ia telah mengomentari karya Ariestoteles yaitu; “Ma Ba’da al-Thabi’ah”, dan pada masa yang sama, penguasa (Abu Ya’qub) yang mendorong Ibnu Rushdi umtuk menyingkap filsafat Ariestoteles meniggal dunia, tahta kerajaanpun kemudian diambil alih oleh anaknya Ya’qub al-Manshur, yang pada awal kepemimpinanya melakukan hal serupa dengan ayahnya, bahkan seringkali berdialog seputar pemikiran filsafat sehingga Ibnu Ruhdi tidak segan mengatakan “dengarkan hai saudaraku”. Kedekatan inipun membuat gerah pribadi Ibnu Rushdi dari kecurigaan orang-oarang yang membencinya, sehingga Ibnu Rushdi mengungkapkan bahwa “Sesungguhnya Amir al-Mukminin lebih banyak mendekatiku ketimbang aku mengharapkanya”. Namun kepemimpinan al-Manshur pada akhirnya hanya tercatat sebagai sejarah buruk dalam sepanjang sejarah Islam, karena pada masa kepemimpinanya tidak tercatat kacuali “tragedi Ibnu Rushdi”.
Adalah merupakan kenyataan sejarah bahwa pluralitas akidah dan aliran Fiqh dalam daratan Masyriq tidak berpengaruh dalam daratan Maghrib yang mayoritas beraliran Maliki, alih-alih, terbukti bahwa Ibnu Rushdi ketika menulis kritik terhadap aliran teologi mengadu tidak bisa mencari karya-karya Mu’tazilah. Selain dari pada itu, mayoritas masyarakat maghrib yang barbarian masih menjadi penghalang kemajuan Andalusia, walaupun kita mengetahui bahwa penguasa-penguasa al-Muwakhidun mendorong keilmmuan para sarjananya.
Dari hal diatas, kita dapat memahami kegagalan pemikiran Ibnu Rushdi dari segi sosiologis, yang menurut Muhammad Arkon dapat dipusatkan pada satu faktor yaitu sedikitnya jumlah cendekiawan yang mengetahui baca tulis dalam bahasa Arab. karena pada saat itu, mayoritas terbesar penduduk Maghrib adalah barbarian, yang sudah tentu, alat komunikasi yang digunakanya adalah bahasa barbar.
Untuk mempertegas hal itu, menurut Arkoun bahwa penguasa-penguasa al-Murabithin (pemerintahan sebelum al-Muwakhidun) dan pemimpin thariqah-thariqah sufi hampir seluruhnya dari masyarakat Barbar. Maka jelas, mereka yang telah menyebarkan Islam dengan jalan pengunaan “budaya oral”, fenomena sosio-kultur dan bahasa inilah yang telah meluas dalam sepanjang sejarahnya sampai muncul gerakan reformasi yang dikomandai Mohamad Bin Tomert.
Apabila persoalanya seperti itu, sangat wajar bila tragedi yang menimpa Ibnu Rushdi pada masa al-Manshur disebabkan oleh kedengkian para fuqaha atas ketidak berdayaanya memahami pemikiran Ibnu Rushdi, maka disaat mereka mampu mendekati khalifah al-Manshur, mereka berhasil mempengarui format negara yang semula bebas mengembangkan logika dan berusaha memadukan antara filsafaat dan wahyu, berubah menjadi berbalik menyerang yang langsung dikomandai oleh al-Manshur sendiri, lewat resolusi penguasa ini terjadilah pembakaran karya-karya Ibnu Rushdi, selain itu, setelah penghakiman Ibnu Rushdi secara terbuka dimasjid agung Cordova yang dihadiri para fuqaha dan jajaran pejabat serta masyarakat Maghrib, maka perkara yang diputuskan adalah pengungsian Ibnu Rushdi dikampung al-Yasanah, kampung yang mayoritas dihuni oleh orang-orang yahudi. Ada penafsiran yang memandang kejadian ini secara umum bahwa kebencian terhadap ilmu –ilmu logika dan sikap penolakan terhadap ilmu filsafat yang berhasil memobilisasi pemikiran umat Islam ketika Ghozali mengibarkan kerancuan pemikiran para filosof, sehingga mempunyai dampak negatif kepada para filosof muslim, karena dampak itu mengakibatkan para filosof muslim sering tertuduh sebagai zindiq. Karya Ghozali yang mengungkapkan kerancuan pemikiran filosof itu adalah “Tahafut al-Falasifah” yang mendapat sambutan yang layak didartan Masyriq, kemudian didaratn Maghrib, karena karya itu tersebar didaratan Andalusia.
Pada konteks yang sama, tragedi yang menimpa Ibnu Rushdi disebabkan oleh faktor politik, menurut Dr. Muhammad ‘Abied al-Ghabirie faktor ini adalah penyebab utama atas tragedi yang menimpa Ibnu Rushdi. Karyanya “al-Dharuri Fi al-Siyasah” merupakan bukti kuat atas pandangan Ghabirie, karena menurutnya karya itu ditulis ketika al-Muwakhidun pada masa kerajaan al-Manshur dalam keadaan krisis.Maka dapat dsimpulkan bahwa karya itu ditulis sebagi usaha Ibnu Rushdi dalam melakukan “reformasi politik” (al-Ishlah al-Siyasi), diskurkus yang digulirkanya dalam karya itu tidak tertuju pada kondisi politik Islam secara umum, namun yang lebih penting adalah perhatianya terhadap realitas Andalusia, realitas bangsanya sendiri. Maka dalam karya ini Ibnu Rushdi sengaja mengkritik kondisi kediktatoran penguasa dan pandangan-pandanagan para Fuqaha yang menurutnya merupakan sebab utama hilangnya pemikiran filsafat dan keredupan cahayanya, karena saat itu, mereka adalah jumlah yang terbesar yang tersebar dikota Andalusia dan dunia Islam.
Dalam keadaan yang demikian, pantas untuk dikata bahwa Ibnu Rushdi adalah akal yang ditolak oleh budaya Islam, tersingkir dari sentral pemerintahan atas nama Islam yang dikuasai oleh diskursus Ghozali-Asy’ari.
Adalah merupakan kenyatan sejarah yang sulit dibantah bahwa setiap penggalan sejarah manusia atau masyarakt manapun selalu ada pertentangan dan perseteruan antara berabagai aliran pemikiran atau sudut pandang, namuan buru-buru yang harus menjadi perhatian bahwa dalam dunia Islam, sikap yang berkembang dalam menyikapi pertentangan pemikiran itu selalu saja memenangkan sebuah pemikiran dan memarginalkan pemikiran lain, walaupun hakekatnya kewibawaan suatu pemikiran tidak berarti menghilangkan secara utuh pemikiran yang lain, namun tanpa dapat dipungkiri dibalik itu ada akibat yang muncul bahwa pemikiran yang lain tidak dapat diterima dalam pentas pemikiran dan kejadian.
Ketika tampuk pemerintahan politik Islam dipegang oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan (661 M – 40 H), sehingga berdiri pemerintahan Umawiyah yang mempunyai karakteristik pemikiran yang menonjol adalah tradisional, akan tetapi pemikiran masyarakat Islam mampu berkembang pesat lewat diaolg internal, bentuk-bentuk yang menguasai saat iu adalah bentuk pemikiran revolusioner yang berbeda-beda, terbukti kemunculan Syiah pada satu sisi, dan kemunculan Kharijiah pada sisi lain, yang pada gilliranya, sampai mengkristal pada kemunculan gerakan Mu’tazilah ahlu al-‘Adli Wa al-Tauhid, dimana kehadiranya sebagai gerakan pemikiran mampu memberi andil besar dalam merubah pemerintahan keturunan Umawiyah menjadi kekuasaan ‘Abbasiyah (750 M - !33 H).
Ketika gerakan Mu’tazilah sampai pada puncak kekuasaanya pada masa khalifah al-Makmun (813 M – 198 H), Mu’tashim (833 M – 218 H) dan al-Wastiq (842 M – 228 H) , namun pada permulaan masa Mutawakil (847 M – 232 H) struktur pemikiran masyarakat mengalami perubahan yang dahsyat. Perlawanan yang sengit terhadap pemikiran Mu’tazilah dan berusaha menyingkirkanya merupakan kesaksian yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, sikap pelawanan itu bersumber dari kalangan para fuqaha dan mayoritas perawi Hadis serta kaum tradisionalis yang tesebar ditengah-tengah para pemikir, hal inilah yang kemudian pada masa Mutawakil menjadi unsur yang kuat dalam menciptakan sikap terorisme melawan Mu’tazilah dan tradisi intelektualnya.
Dan, akhiran walaisa akhiran, ketika Ghozali sebagaimana telah penulis singgung diatas telah menutup pintu pemikiran bebas, sampai-sampai dari akibat pengaruhnya sebagian kalangan memandang bahwa pemikiran filsafat dan para filosof didunia Arab-Islam tidak mendapat tempat sampai sekarang. Akan tetapi kehadiran pemikiran Ibnu Rushdi telah mengembalikan pemikiran Arab-Islam pada karakteristiknya yang rasional, bahkan tidak berlebihan apabila kita mengatakan bahwa pemikiran Ibnu Rushdi adalah merupakan bukti konkrit atas orisinalitas pemikiran rasional dalam peradaban Islam, dan warisan intelektual yang dapat kita kedepankan, walaupun mungkin kedua yang penulis kemukakan itu, dalam konteks indonesia masih merupakan perkara baru yang semestinya segera harus dilirik kalu tidak untuk segera diperhatikan.
Epilog
Sekelumit dari oret-oretan mengenai sosok Ibnu Rushdi antara kegagalan dan kesuksesannya dapat disimpulkan bahwa kegagalan beliau dalam membumikan filsafat bukan karena ketidakmampuan beliau dalam menguraikan kesesuaian antara akal dan wahyu namun lebih disebabkan faktor politis yang tidak berpihak kepada beliau,kemudian kita sudah selayaknya untuk mengkaji lebih jauh pemikiran beliau,semoga artikel ini dapat menstimulan kita untuk selalu obyektif dalam memahami sebuah sejarah.
disarikan dari berbagai sumber



Menyoal Orientalis

Oleh: Muhammad Idris*


Islam adalah agama dan peradaban, realitas sejarah yang berlangsung selama empat belas abad didalam panggung sejarah umat manusia dan jejak kaki langkah geografis pada dataran luas yang membentang dibenua Asia dan Afrika bahkan sebagian dataran Eropa. Kini lebih dari 1,2 milyar orang dari latar belakang suku, ras dan kultural yang berbeda adalah warga muslim. Sejarah merekam bahwa Islam memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan beberapa aspek pada peradaban lain, khususnya peradaban barat.
Itulah sejumlah alasan mengapa pengetahuan tentang Islam sangat penting bagi mereka yang memliki perhatian pada sejarah Intelektual dan kultural di Barat. Beberapa banyak sarjana Barat yang concern untuk mendalami Islam. Mereka yang ada dalam dunia akademis disebut “orientalis” telah mencurahkan perhatiannya dalam Islam.
Para orientalis seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Louis Massignon memahami Islam dalam perspektif Barat, sehingga tesis-tesis yang diwacanakan kerap membuat para cendikiawan muslim “geram”.


Keingintahuan para sarjana barat mengenai Islam mengalami signifikansi seiring terjadinya peristiwa 11 september 2001 (tragedi pengeboman gedung WTC). Tesis-tesis yang yang disajikan oleh mereka amat kental diwarnai prasangka dan bias-bias ideologis yang beragam meskipun terkadang terdapat sisi obyektifitasnya.
Kajian Islam di Barat dimulai dari abad kesepuluh dan kesebelas, karena pada saat itu masyarakat Eropa secara umum menganut agama Kristen. Islam dianggap sebagai sekte dari Kristen yang menyimpang dan pendirinya adalah seorang yang murtad.
Abad pertengahan ditandai dengan penolakan religius yang kuat terhadap Islam. Pada abad inilah keingintahuan Barat terhadap Islam semakin “menggelora”. Kemudian pada abad kesembilanbelas keseriusan Barat untuk mengkaji Islam mencapai klimaks. Hal ini ditandai dengan studi-studi tentang ke-Timuran secara resmi termasuk kajian-kajian ke-Islaman di berbagai universitas-universitas Barat acapkali mendapat dukungan dari pemerintah kolonial seperti Inggris, Prancis, Belanda dan Rusia.
Bahkan menurut Edward Said orientalisme (faham dan pengetahuan Barat tentang Timur) yang dalam istilah Arab disebut “al-Isytiraqi” bukan sekedar wacana akademis, akan tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomi dan religius.
Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat mengenai dunia “oriental” dalam kajian Said, khusus dunia Islam bertujuan untuk politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah muslim,para orientalis mengusung slogan (3 G) yakni gold atau penguasaan ekonomi,glory atau perluasan wilayah jajahan dan gospel atau penginjilan (kristenisasi) dalam penelitian mereka atas dunia timur alias Islam.
Kajian yang disajikan para sarjana barat yang tergabung dalam komunitas orientalis tentang islam dalam satu dekade terakhir meskipun mencoba untuk mengkaji secara obyektif namun tesis-tesis yang diwacanakan mereka secara ideologi tetap bias dan penuh prasangka.
Kita sebagai kaum ‘terdidik’ dan ‘terpelajar’ harus selektif,obyektif dan kritis ketika hendak mengkaji pemikiran mereka tentang dunia kita (baca:Islam) dan menjadi kewajiban bagi para sarjana-sarjana muslim untuk meneruskan langkah yang telah ditempuh oleh oksidentalis (sarjana-sarjana muslim yang mengkaji ilmu-ilmu Barat) seperti Prof.M.Naguib al-Attas,Prof.Dr.Azami ,MA ,Seyyed Hossen Nasr yang telah mematahkan tesis-tesis orientalis.

Memaknai Kebebasan Beragama

Pada era postmodern sekarang ini kebebasan beragama sering terdengar. Ia banyak digaungkan di forum-forum kajian ilmiah, di podium politik, yel-yel para demonstran. Banyak yang mengatasnamakan kebebasan merenggut kebebasan orang lain, melabrak hak orang lain. Apakah makna kebebasan ini sudah difahami dengan baik oleh mereka yang selalu berceloteh tentang kebebasan ?

Secara luas penafsiran kebebasan sendiri tidak ada yang baku. Penafsiran-penafsiran sejak dulu hingga sekarang baik yang berupa undang-undang konvensional Negara maupun kaidah-kaidah keadilan semuanya akan berakhir pada satu kesimpulan bahwa kebebasan itu tidak bersifat mutlak (terbatas) dan tidak merugikan orang lain. Kalau kebebasan dimaknai secara mutlak sama artinya dengan anarkisme yang selalu melabrak hak dan kebebasan orang lain. Dalam sebuah sistem sipil yang teratur, keberadaan kebebasan yang mutlaktidak mungkin berlangsung. Manusia hidup di dunia ini tak sendirian. Manusia hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki batasan-batasan, tatacara dan sistem hidup sendiri. Kebebasan yang logis atau realitis maupun yang sistematis adalah kebebasan yang terikat dengan hak-hak orang lain, kepentingan umum dan ruang lingkup syariat Tuhan atau sistem undang-undang sipil dalam sebuah negara.
Islam adalah agama yang sejak kelahirannya selalu mengumandangkan akan pentingnya sebuah kehormatan manusia. Hal ini nantinya akan melahirkan sebuah kebebasan dan persamaan.
Prof. Dr. Wahbah al Zuhaily membagi kebebasan beragama dalam tiga corak. Pertama, kebebasan perseorangan (individual) yang meliputi hak keamanan, terjaga privasinya kebebasan bertempat tinggal dan terjaganya akal manusia. Kedua, kebebasan politik meliputi kebebasan berpendapat dan beragama, melaksanakan ritual keagamaan, pers, serta berserikat dalam berpolitik dengan dasar musyawarah. Ketiga, hak dan kebebasan ekonomi-sosial meliputi hak memperoleh pekerjaan, perlindungan kesehatan, tanggungan sosial yang tercermin dengan adanya kewajiban zakat dan macam-macam shadaqah, qurban, pembayaran kafarat.
Hak dan kebebasan yang telah ditetapkan dalam Islam ini sudah memenuhi kebutuhan manusia kan sebuah kebebasan. Baik urusan duniawi maupun ukhrawi. Kebebasan yang menyangkut keagamaan sering menjadi polemik dan salah paham, diatur dan dirancang secara lentur dan fleksibel baik sesama muslim ataupun yang berkait- kelindan dengan dengan agama lain.
Praktek sebuah Kebebasan Beragama menurut Islam
Syariat Islam telah menetapkan kebebasan melaksanakan ajaran-ajaran pelbagai agama ( baik Islam atau bukan). Hal ini bertujuan agar kebebasan ini tidak mengakibatkan kekufuran bagi umat Islam dan kesesatan yang bersifat menentang simbol-simbol ke-Islaman. Rekaman realita kebebasan beragama sepanjang sejarah Oslam bisa dilihat dalam piagam Madinah. Rasulullah Saw telah menetapkan kebebasan orang Yahudi dengan ketiga golongannya di Madinah untuk melaksanakan simbol-simbol keagamaan mereka. Dalam piagam itu disebutkan :
”Orang Yahudi dari bani ‘Auf merupakan satu umat bersama orang mukmin. Bagi orang Yahudi adalah agama mereka bagi orang Islam adalah agama mereka, kecuali orang yang dzalim dan berdosa. Sesungguhnya ia tidak dirusakkan atau dibinasakan kecuali oleh dirinya sendiri dan keluarganya.”
Sahabat Umar Ra dalam suratnya yang dikirim kepada penduduk Baitul Maqdis mengatakan :”Ini adalah apa yang diberikan Umar kepada penduduk Eliya (Quds) yakni keamanan. Mereka diberi keamanan terhadap diri, gereja dan juga agama mereka serta salah satu mereka tidak akan disakiti”.
Penyerangan sahabat Abu Bakar Ra terhadap pembangkang zakat bukanlah merupakan pelanggaran kebebasan beragama. Karena mereka telah keliru ketika menganggap bahwa zakat khusus dizaman Nabi dengan bepegang pada makna dzahir ayat ”ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu mensucikan mereka. Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (al Taubah : 103)
Mereka telah kelewatan dalam melakukan kesalahan pemahaman sehingga membuka lubang besar dalam Islam yang berakibat pada penghancuran Islam secara perlahan-lahan.
Dari catatan sejarah diatas membuktikan bahwa Islam adalah agama yang menyerukan kebebasan berkeyakinan dan memberikan penjagaan serta perlindungan dalam berkeyakinan selama hal itu tidak ada perlawanan, celaan, menentang kewajiban akidah Islam.
Teori dan praktek Internasional
Kebebasan beragama juga mendapatkan tempatnya diluar Islam. Pasal 18 Deklarasi Universal HAM (Declaration of Human Raight) dalam resolusi majlis umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 terdapat 4 ayat yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran termasuk kebebasan beragama, melaksanakan ibadah tanpa ada larangan dan paksaan. Hal itu selama terjaganya keselamatan umum, aturan hak-hak dan kebebasan dasar orang lain. Pernyataan ini pun diterima oleh negara-negara Islam di dunia karena selaras dengan kebebasan dalam Islam.
Di mata Islam pemaksaan suatu agama merupakan suatu pelanggaran. Allah berfirman ”Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al Baqoroh :256). Allah juga menyerukan penyebaran agama dengan hikmah dan kebaiakan ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. Al Nahl : 125).
Potret Kebebasan di Indonesia
Dari keduanya (Islam dan Internasional) teori tentang kebebasan beragama mengapung kembali di Indonesia. Kasus Ahmadiyah merupakan fenomena yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Ahmadiyah dianggap sebagai bentuk dari realisasi kebebasan beragama menurut madzhab AKKBBN sehingga wajib dilindungi dan diberikan hak sesuai UUD ’45 dan HAM. Tetapi golongan puritan (FPI) tidak ingin Islam dikotori dengan faham Ahmadiyah yang mereka anggap sesat dan telah menodai Islam.
Kita bisa menilai Ahmadiyah itu sesat atau tidak kalau kita tahu apa itu kebebasan beragama dan apa itu kesesatan dalam agama. Wallahu’alam


KRITIK TERHADAP FEMINISME

Oleh : Muhammad Idris*

Wacana Emansipasi wanita dengan mengusung egalitarianisme kembali menyeruak setelah para sarjana-sarjana kontemporer menggulirkan ide-ide feminis di ruang-ruang diskusi ,artikel-artikel media massa baik cetak maupun elektronik.

Artikel di bawah ini mencoba untuk mengkritik wacana-wacana yang digulirkan oleh mereka yang sering disebut dengan “pejuang jender” dengan merunut dan menguak akar feminisme yang berkembang di dunia barat karena menurut hemat penulis para feminis yang membawa isu-isu gender selalu bertolak dari peradaban barat yang mereka kira para wanita di barat memiliki dan merasakan kedamaian dalam kehidupannya.

Para orientalis dan feminis barat sering menyerang konsep wanita dalam islam. Mereka menganggap kedudukan wanita dalam islam lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam keluarga, poligami dan sebagainya. Tak jarang sebagian muslimin sendiri yang begitu yang terpesona dengan dunia barat , tanpa periksa lagi , mengikuti pula pandangan semacam itu , dan kemudian dengan serta merta menyerukan pembaharuan kedudukan wanita dalam islam . Sungguh sangat disayangkan sikap mereka mengkritik habis-habisan terhadap para intelektual-intelektual muslim yang kapasitas keilmuan dan kejujuranya dapat dipertanggungjawabkan.Namun mereka memuji dan meniru para pemikir barat yang kapasitas keilmuan dan kejujuranya masih dipertanyakan.


Di kalangan Umat Islam , Wacana Emansipasi pertama kali di gulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905). Tokoh reformis mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita muslimah untuk mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi,supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang muslimah dalam pembangunan umat.Pandangan yang sama juga dilontarkan oleh Hasan at-Turabi dari Sudan. Menurut beliau,Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah public,termasuk hak dan kebebasan mengemukakan pendapat,ikut pemilu, berdagang, menghadiri sholat jama’ah, ikut ke medan perang dan lain sebagainya. Ulama lain yang kurang lebih memiliki pandangan kurang lebih sama adalah Syekh mahmud syaltut,Sayyid Qutb,Syekh yusuf al-Qardhawi dan jamal al-Badawi.sudah barang tentu para tokoh ini mendasari pendapatnya dengan al-Qur’an dan Hadits.[1]

Lamya al-Faruqi yang lahir , besar dan hidup di dunia barat, tepatnya Amerika Serikat , mengkritik sikap sebagian muslimin dan muslimat yang hanya mengikuti pendapat barat tanpa secara kritis menggali dan memahami ajaran islam secara benar , menurut lamya ,sikap rancu sebagian orang barat terhadap kedudukan wanita dalam islam , terutama terpengaruh di dalam konsep anti-wanita sebagaimana terdapat dalam ajaran dan tradisi yahudi-kristen .Eva yang di dalam Bibel dikisahkan menyebabkan terperosoknya Adam ke dalam pelanggaran terhadap perintah tuhan menjadi preseden pandangan bahwa wanita menyebabkan keruntuhan umat manusia, konsep ini tak terelakkan lebih mempunyai pengaruh yang mendalam kepada barat dalam memandang wanita.[2]

Memang tak bisa dipungkiri,gerakan feminisme di barat merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi masyarakat di sana, terutama yang menyangkut nasib dan peran wanita.salah satu penyebabnya adalah pandangan ‘sebelah mata’ terhadap perempuan (misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) serta citra negatif yang dilekatkan kepada mereka.semua itu bahkan telah mengejewantah dalam tata-nilai masyarakat,kebudayaan,hukum dan politik.

Bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles di zaman pra-kristen,diikuti oleh st. Clement dari Aleksandria,St. Agustinus dan St.Thomas Aquinas pada abad pertengahan , hingga Jhon locke,Rossesau dan Nietzsche di awal abad modern ,citra dan kedudukan perempuan memang tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan budak ( hamba sahaya ) dan anak-anak,dianggap lemah fisik maupun akalnya[3]

Lamya menyatakan , barulah 100 tahun belakangan ini wanita barat memperoleh kedudukan hukum dan ekonomi yang lebih baik , sementara pada segi-segi kehidupan social lainya wanita masih tetap dipandang lebih rendah . karena itulah gerakan feminisme di barat terus berjauang keras menuntut apa yang mereka sebut sebagai persamaan hak antara laki-laki dan wanita . Memang , demikian lamya , konsep dosa asal sebagaimana terdapat dalam dalam yahudi-kristen tidak memandang laki-laki dan wanita sederajat , termasuk di bidang spiritual . karenanya tidak aneh kalau pada akhir abad ke -18 para filosof Kristen terlibat dalam perdebatan apakah wanita mempunyai jiwa atau tidak ? sebab wanita dipercayai tercipta dari tulang rusuk Adam.

‘’Tidak ada satu isyarat apapun di dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa wanita diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang lebih rendah dari laki-laki atau bahwa ia adalah embel-embel yang terbentuk dari tulang rusuk laki-laki’’ tulis Lamya.

Tetapi al-Qur’an menegaskan kepada kita , jelas Lamya lebih lanjut , bahwa laki-laki dan wanita berasal dari Nafs al-Wahidah (dari satu jiwa) .Al-Qur’an membantah cerita-cerita yang ditemukan dalam perjanjian lama yang merendahkan wanita sebagai hamba Allah SWT.,karena tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam hubungan dengan Tuhan. Wanita adalah saudara laki-laki , sederajat dalam nilai , tanggung jawab moral dan etika, diperingatkan dengan ancaman yang sama dan yang akan diberi ganjaran yang sama pula.

Menurut lamya , perbedaan yang digariskan Allah antara kedua kelamin itu ‘’ hanyalah hubungan keduanya satu sama lain dan dengan masyarakat’’ perbedaan ini lebih menyangkut peran dan fungsi alamiah , yang memiliki karakter unik yang dimiliki dari setiap jenis laki-laki dan wanita .berbeda dengan ideologi barat , Islam mempertahankan bahwa setiap jenis ,peran dan fungsi sama-saman berhak mendapatkan kehormatan , karena itu pembagian kerja menurut seksual pada umumnya sangat menguntungan bagi seluruh anggota masyarakat.

Lamya juga meminta perhatian khusus tentang penggunaan kata ‘’qawwâmun’’ dalam ayat yang berbunyi ‘’ Al-Rijâlu Qawwâmûn ‘ala al-Nisâ’’ menurut lamya , kata kerja Qawwama berasal dari kata Qawwâmûn itu tidak lantas kekuasaan despotic laki-laki atas wanita . Sebaliknya ,istilah itu lebih mengacu kepada seseorang yang berdiri ( dari Qâma = berdiri ) un tuk orang lain dalam cara yang protektif dan terhormat . jika kata itu diartikan peran otokratif atau mendominasi dari laki-laki – sebagaimana diartikan sebagai masyarakat – maka banyak kata-kata atau istilah lain yang lebih mengena ,seperti Musyaytirûn atau Muhayminûn dalam al-Qur’an menegaskan sifat supportif ( menunjang) ketimbang mengandung pengertian otoratif atau tiranik.

Dalam kaitan itu , lamya menilai, bahwa bertentangan dengan tujuan gerakan pembebasan wanita di barat , al-Qur’an menyerukan kepada pembentukan suatu masyarakat yangb memberikan kepimimpinan akhir dan peran pengambilan keputusan kepada laki-laki , karena kemampuan fisik, tanggung jawab dan kontribusi ekonominya.

Sebagian orang mengatakan bahwa kepimpinan yang dikhususkan Allah Ta’ala untuk para laki-laki dan menundukkan perempuan kepadanya adalah mengandung sebuah penyelewengan hak perempuan.

Para feminis telah menuduh para mufassir dan ulama fiqh telah menyusun tafsir dan kitab fiqh yang bias gender dan memrjinalkan wanita. Tuduhan ini tentu saja tidak benar . Memang bisa saja ijtihad dan pendapat mereka tidak luput dari kesalahan.Tetapi menuduh mereka memiliki motif jahat untuk menindas wanita dan melestarikan hegemoni laki-laki atas wanita, merupakan kecurigaan yang bias gender.Lagi pula , Sepanjang sejarah , telah lahir ulama-ulama wanita dalam berbagai bidang. Pendapat mereka pun tidak berbeda dengan pendapat ulama laki-laki.

Menurut lamya ‘’ gerakan feminisme yang berpendapat bahwa laki-laki dan wanita tidak hanya sederajat tetapi juga sama danidentik , pada kenyataanya mendorong wanita untuk meniru laki-laki dan melenyapkan kewanitaan mereka sendiri, gagasan ini dipraktekkan di barat dengan pakaian yang UNISEKS , gaya rambut , perhiasan , hiburan dan sebagainya. Hal semacam ini sangat didorong dan dihargai masyarakat yang menyebut dirinya modern dan up to date.Dan juga gagasan seperti ini dikembangkan dalam bidang karir dengan melakukan apa saja yang dilakukan oleh kaum pria. Padahal dengan mengejar karir untuk membuktikan bahwa wanita juga sama dengan pria ,kaum wanita tidaklah membebaskan diri melainkan mencekik lehernya’’ tandasnya.

Bahkan menurut Alice Denise Thompson,dalam bukunya Radical feminism Today seperti yang dikutip Dr.Syamsuddin Arif,pada beberapa dasawarsa terakhir , gerakan feminisme di Barat kelihatan mengalami Stigmanisasi dan nampak seperti ‘kena batunya’ sendiri.munculnya feminis-feminis radikal yang bersifat anti laki-laki, mengutuk system patriarki, mencemooh perkawinan , menghalalkan aborsi , merayakan lesbianisme dan revolusi seks , justru menodai reputasi gerakan itu.Bagi para feminis liberal,menjadi seorang istri sama saja disandera.Tinggal bersama suami sama dengan living with the enemy[4].

‘’Pendekatan islam terhadap gagasan pembebasan wanita , menurut lamya lebih lanjut , lebih difokuskan pada hasrat laki-laki menghargai keinginan , hak-hak sah kaum wanita .Islam tidaklah menentang keinginan-keinginan wanita untuk mengembangkan karirnya di luar rumah tangga , tapi itu tidaklah dibenarkan kalau tanggung jawabnya dalam keluarga belum terpenuhi, kan tidak lucu kalau demi karir seorang wanita mengorbankan keluarganya menjadi berantakan ‘’ tulisnya

Memang realitas kekinian telah banyak perubahan terhadap wanita,di zaman sekarang banyak wanita yang telah menduduki posisi-posisi tinggi di pemerintahan.Namun perlu diingat , sebenarnya realitas yang telah membalik peranan perempuan tidak bisa merubah ketentuan syariat tentang kewajiban-kewajiban seorang laki-laki terhadap perempuan seperti kewajiban memberi nafkah ,menjaga kehormatan istri dan sebagainya

Dan di barat sendiri gagasan feminis bukan tanpa kritik ,kritikan tajam terhadap radikalisasi feminis seperti yang dikutip Dr.Syamsuddin Arif datang dari banyak kalangan komentar Pat Robertson ,mantan calon presiden Amerika :Para feminis itu kerjanya Cuma ‘’mengompori’’ Wanita agar meninggalkan suami dan membunuh anak-anaknya sendiri , mengamalkan pedukunan , menjadi lesbian dan merontokkan kapitalisme.[5]

Dari premis-premis di atas bisa sedikit ditarik sebuah kesimpulan bahwa untuk memperjuangkan egalitarian antara wanita dan laki-laki para feminis seharusnya jangan bertolak dari apa yang pernah terjadi di dunia barat,disamping gagalnya para feminis barat dalam memperjuangkan hak-hak wanita juga karena problem yang terjadi di barat (ketimpangan hak laki-laki dan wanita) tidak sama dengan problem kita.

Wallahu a’lam

* Adalah mahasiswa UIN jakarta fakultas Ushuluddin dan Filsafat
[1] Artikel Dr Syamsuddin Arif,Menyikapi feminisme dan isu gender majalah Al-Insan no.03 vol .2 hal 93.2006

[2] Prof.DR.Azzumardi Azra.MA,Historisitas Kontemporer Hal : 332-337

[3] Ulasan mengenai pandangan negatif terhadap perempuan dapat dilihat dalam: Jhon marry elmann,Thinking about women (new york:Harcourt,1968)

[4] Artikel Dr Syamsuddin Arif,Menyikapi feminisme dan isu gender majalah Al-Insan no.03 vol .2 hal 93.2006.

tafsir esoterik-sufistik al-Ghazali

Oleh: Muhammad idris*

Prolog


“ Sesungguhnya al-Qur’an memiliki aspek lahiriah dan aspek batiniah,akhir dan awal”[1]


Kandungan makna hadits di atas menyiratkan bahwa ayat-ayat al-qur’an memiliki kapasitas makna ganda ‘lahir dan batin’ , esoteris dan eksoteris atau makna-makna luar (harfiah) ada juga makna-makna dalam (substansial).


Tulisan pendek ini hendak mengetengahkan corak pemikiran al-Ghazali dalam kajian tafsir Esoterik-sufistik.


Membaca judul dan tema artikel ini, mungkin dalam pikiran kita timbul sebuah pertanyaan Apa al-Ghazali sempat memulis kitab tafsir??kemudian kalau benar beliau pernah ‘menganggit’ kitab tafsir? Pertanyaan berikutnya, lalu dimana kitab tafsir tersebut?

Diriwayatkan dari berbagai sumber bahwa beliau telah menulis kitab tafsir al-Qur’an setebal 40 jilid[2] ,az-Zabidi seorang komentator karya al-Ghazali dalam Ittihaf assa’adah ‘ala Syarhi ihya’ Ulumuddin juga mencantumklan kitab yaqut at-ta’wil fi-Tafsir at-tanzil berjumlah 40 jilid sebagai karya hujjatul Islam al-ghazali dalam disiplin tafsir.

Lantas di mana keberadaan kitab tersebut?! Sejarah merekam bahwa tentara mongol saat melakukan ekspansi ke negara-negara muslim di Timur, telah memporak-porandakan kota baghdad, pada tahun 1258 M pasukan mongol berhasil merebut jantung kota baghdad, mereka menghancurkan madrasah-madrasah , universitas-universitas dan perpustakaan di Baghdad.[3] Hemat penulis,Tidak menutup kemungkinan kitab yaqut at-ta’wil karya al-ghazali termasuk salah satu kitab yang menjadi korban ‘keganasan dan kebengisan’ tentara mongol saat memporak-porandakan ‘kota seribu satu malam’, yang dimana karya-karya al-Ghazali disimpan dalam perpustakaan.

Walaupun kita tidak bisa membaca dan menelaah kitab tafsir al-ghazali , setidaknya kita dapat membaca corak penafsiran tafsir al-Ghazali melalui karya-karya beliau seperti : Ihya’ Ulumuddin, misykatul anwar , I’lamul awam ‘anil ilmil kalam dan Qanun at-tanzil.

Definisi dan klasifikasi Tafsir

Tafsir secara harfiah berarti penjelasan atau komentar, sedangkan definisi tafsir secara istilah, Abu hayyan mendefinisikan tafsir sebagai Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, indikator-indikatornya ,masalah-masalah hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, sertta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi stuktur lafadz yang melengkapinya.[4]

Al-Farmawi memetakan metode penafsiran al-Qur’an menjadi empat:
1. Muqaran, adalah bentuk penafsiran dengan menggunakan metode komparasi (perbandingan) antara stu ayat dengan ayat lainnya, atau antara ayat al-Qur’an dengan Hadits atau komparasi penafsiran antar mufassir.
2. Ijmaly, adalah interpretasi ayat-ayat al-Qur’an dengan mengemukakan ayat secara global.
3. Tahlily, metode penafsiran dengan menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat-ayat al-Qur’an, terdapat tujuh macam kategori dalam bentuk penafsiran ini, yakni : 1) Tafsir bi al-Ma’tsur, adalah tafsir yang bersumber pada ayat-ayat al-qur’an sendiri , atau penjelasan yang ditransfer dari Nabi Muhammad SAW.
2) Tafsir bi al-Ra’y, tafsir yang menggunakan nalar ijtihadi
3) Tafsir al-Sufi, adalah tafsir yang memakai analisa sufistik atau mentakwilkan ayat al-qur’an dengan berdasarkan isyarat yang tampak bagi seorang sufi dalam derajatsuluknya.
4) Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, metode pendekatan kebahasaan dan sosial budaya
5) Tafsir al-Fiqhi, adalah tafsir yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum
6) Tafsir al-‘Ilmi, adalah tafsir yang menggali kandungan berdasarkan teori ilmu pengetahuan
7) Tafsir al-Falsafati, yakni tafsir yang menggunakan analisis disiplin ilmu filsafat [5]

Tafsir Esoterik-Sufistik al-Ghazali

Adalah Abu hamid muhammad bin muhammad al-Ghazali yang lebih akrab dengan sebutan al-Ghazali bukan saja terkenal sebagai seorang intelektual (faqih) tapi juga sebagai seorang sufi, beliau tidak hanya menguasai disiplin fiqh, ushul fiqh, Filsafat,ilmu kalam (teologi dalektik) bahkan tafsir dan hadits pun beliau kuasai dengan baik.

Dalam bidang tafsir beliau memiliki metode pendekatan esoterik-sufistik, menurut kaum sufi , Riyadlah atau spiritual yang dilakukan oleh seorang sufi untuk dirinya akan mengantarkan kepada suatu tingkatan dimana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terdapat dibalik ungkapan-ungkapan a-Qur’an. Limpahan keajaiban akan tercurahkan dalam hatinya , demikian pula pengetahuan spiritual yang dibawa ayat-ayat al-Qur’an . Inilah yang disebut dengan tafsir Isyari(esoterik-Sufistik). Artinya setiap ayat al-Qur’an memiliki makna lahir(aspek luar-harfiah) dan aspek batin (aspek dalam-substansial), makna lahir adalah makna yang secara mudah difahami akal fikiran, sedang makna batin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik ayat, yang tentunya hanya bisa disingkap oleh ahli suluk ( sufi).

Meskipun nalar manusia mampu menunjukkan bagian mana dalam al-Qur’an yang harus ditafsirkan secara esoteris, ia tidak dapat dengan sendirinya menjadi sumber penafsiran.Satu-satunya sumber penafsiran yang valid adalah apa yang disebut oleh al-Ghazali dengan ilmu mukasyafah (ilmu penyingkapan), dengan perangkat ilmu penyingkapan inilah makna-makna al-Qur’an menjadi diketahui.

Al-Ghazali menjelaskan lebih lanjut dengan memberikan sebuah contoh metode penafsiran esoteris-sufistik dari kisah nabi musa a.s, dalam surat at-Thaha, ketika nabi Musa mencapai api yang ia lihat dari kejauhan, Tuhan memanggil dia dan berfirman “ Sesungguhnya Aku inilah Tuhan-Mu , maka tinggalkanlah terompahmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci (Thuwaa) “ menurut al-Ghazali Nabi Musa memahami perintah ‘Tinggalkanlah terompahmu’ sebagai pengasingan dari kedua dunia (al-Kawnayn), dia mematuhi perintah itu secara lahiriah -dengan menanggalkan terompahnya- sekaligus secara batiniah (substansial) dengan membuang kesua dunia ini (al-Alamain), inilah peringatan yang dimaksudkan dengan contoh ini, yakni perpindahan dari satu hal ke hal yang lain, dari aspek lahir ke aspek batin.[6]

Corak pemikiran tafsir esoteris al-Ghazali semakin kentara ketika beliau ‘mengcounter’ pendapat para mufassir yang mengecam para ahli tasawuf ( Sufi ) dalam menafsirkan al-Qur’an. Mereka para mufassir menjadikan hadits nabi - “Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri memiliki tempat di neraka” - Sebagai hujjah untuk mengecam penafsiran dengan menggunakan pendekatan esoteris yang telah dilakukan oleh para sufi. Disamping itu hasil interpretasi yang dihasilkan oleh para sufi dalam ayat tertentu bersebrangan dengan otoritas Ibnu Abbas dan mufassir lainya, serta penafsiran esoteris dapat ‘menggered’ pelakunya ke dalam jurang kekufuran.[7]

Pernyataan para mufassir yang mengecam para sufi dalam menafsirkan al-Qur’an disanggah ole al-Ghazali, beliau mengungkapkan “ ketahuilah bahwa manusia yang mengklaim bahwa al-Qur’an tidak memiliki makna kecuali yang telah disampaikan melalui tafsir lahiriah (eksoteris), sedang mengakui keterbatasan kemampuannya.Dia benar dalam pengetahuanya, namun ia salah dalam penilaiannya bahwa semua orang memiliki tingkat kemampuan seperti mereka”.[8]

Ibnu Qayyim al-jauziyah menyatakan bahwa tafsir yang dilakukan oleh kaum sufi tidaklah terlarang, selama memenuhi empat syarat,yaitu:
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (aspek luar)
2. Makanya sendiri shahih
3. pada lafadz atau ayat yang ditafsirkan memang mengandung makna Isyari (memiliki makna dalam)
4. Antara makna Isyari dan makna lahir terdapat hubungan
Ketidakmampuan mayoritas manusia memahami tafsir esoteris

Manusia terlahir di dunia dibekali oleh Allah SWT. Dengan berbagai karakter,kemampuan ,dan ketangkasan, suatu keahlian yang dimiliki oleh seseorang, belumtentu dimiliki oleh orang lain,sebagaimana jargon klasik yang berbunyi “likulli rijalin fannun” artinya setiap orang memiliki keahlianya masing-masing.

Kebanyakan kaum beriman tidak mampu memahami makna batin al-Qur’an dan karenanya tidak mampu melakukan penfsiran esoteris. Menurut al-Ghazali, penyebab ketidakberdayan mayoritas manusia dalam memahami makna batin adalah karena setan telah menyelubungi pikiran mereka, karena itu mereka tidak bisa mengakses ke dunia kedaulatan (al-Malakut) dan lawh mahfudz yang padanya makna batin al-Qur’an ditorehkan.Kemudian beliau menambahkan beberapa faktor lain yang menjadi pemicu ketidakberdayaan manusia dalam menyingkap makna dalam (substansial),yakni :
1. perhatian seseorang dialihkan kepada pengucapan huruf yang tepat (tahqiq al-Huruf bi-Ikhrojiha min Makhoorijiha)
2. Fanatisme terhadap madzhab tertentu yang mencegah seseorang untuk memikirkan gagasan yang belum akrab denganya.
3. Kegelapan hati manusia yang disebabkan oleh dosa yang sering ia lakukan, yang karenanya hati menjadi gelap sehingga tidak mampu meyibak makna dari teks al-Qur’an
4. Faktor terakhir adalah, mereka terhegemoni oleh penafsiran yang telah dilakukan oleh mufassir eksoteris, serta meyakini bahwa tidak ada makna dari teks al-Qur’an selain dari apa yang telah dilakukan oleh ibnu abbas,mujahid dan yang lainnya.Hal tersebut diperparah dengan keyakinan bahwa melakukan penafsiran yang bersebrangan dengan Ibnu abbas, Mujahid dan sahabat lainyya termasuk penafsiran dengan pendapat pribadinya, yang dapat menywebabkan pelaku mendapatkan ‘tiket neraka’.

Epilog

Produktifitas dan terobosan yang dilakukan oleh seorang al-Ghazali pada abad ke-5H, untuk mendiskusikan pembacaan al-Qur’an melalui pendekatan tafsir Isyari (esoteris-sufistik) telah mewarnai bentuk penafsiran sebelumnya yang bhanya berkutat pada makna lahir al-Qur’an. Kemudian ada hal yang layak untuk kita diskusikan lebih lanjut, khususnya mengenai eksistensi tafsir esoteri-sufistik dalam khazananah intelektual kita.

* Adalah mahasiswa semester satu UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
1 Abu Hamid al-Ghazali ‘Ihya’ ‘Ulumuddin’ vol I hal 290 darul kutub al-‘arabi
2 Nicholas Heer ‘ The heritage of sufism’ pen: Ribut wahyudi Pustaka sufi hal 1-2.
3 www.irwanmasduqi83.blogspot.com,dalam dalam makalahnya yang berjudul Abdul Karim al-Jili sufistik-prolifik era kemunduran Islam dipresentasikan di lakpsedam Pci-Nu mesir
4 Manna’ Khalil Qathan ‘Mabahis fi ulum al-Qur’an’ pen : H.Aunur rafiq lc.Ma pustaka al-Kautsar hal 409 cet;2007
5 Kontekstualisasi Turats,purna Siswa lirboyo 2005, hal 12-13
6 Abu hamid al-Ghazali’Misykat al-Anwar hal 21 dar kutub al-‘ilmiyyah
7 Abu hamid al-Ghazali,Ihya’ Ulumuddin vol I hal 290
8 Ibid



Wallahu A’lam

02 Juli 2008

my first ngeblog

selamat datang dunia maya..ni ajang kongkow pemikiran-pemikiranku..sobat-sobatku di seluruh dunia kritik dan saran kalian aku nantikan demi menyempurnakan isi blogku...