width:

04 November 2008

Ihya’ al-Fikr al-Islamiyyah

Upaya Memberangus Kejumudan Pemikiran
Oleh:Muhammad Idris

Tamhid

Gagasan yang mengatakan bahwasanya pemikiran adalah terbatas, dan karena alasan ini tidak bisa menangkap sesuatu yang tak terbatas, didasarkan pada suatu pandangan yang keliru tentang gerak pemikiran dalam pengetahuan.[M.Iqbal “The reconstruction of religion thought”]

Kejumudan pemikiran Islam mulai tercium semenjak pasca abad pertengahan Hijriah, dunia islam mengalami ‘problem stagnasi pemikiran’. Jatuhnya imperium Bagdhdad (Bani Abbasiyyah) pada tahum 656 H /1258 M semakin menambah lembaran hitam dalam sejarah umat islam, apalagi dengan lenyapnya andalusia sejak 970 H / 1492 M. Meski kemudian muncul nenerapa Dinasti Mamalik di Mesir, turki Usmani di kawasan Asia Tengah dan sebagian Eropa, Dinasti Shafawi di Persia (Iran) dan Mughal di India. Namun perjalanan untuk menggapai reputasi pemikiran emas para pendahulu (salafuna al-Shalih) belum menampakkan hasil yang memuaskan.[Prof.Dr.Said Aqil Siradj”Ahulussunah Wal-Jama’ah sebuah kritik historis]

Sementara menurut Arkoun, masa kejumudan berfikir dalam dunia islam dimulai sejak mangkatnya sang ‘maestro’ Ibnu khaldun pada abad ke 13 M hingga akhir abad ke 19 M. Sungguh !! sebuah masa kevakuman kejumudan yang sangat lama.

Selama lima ratus tahun yang lalu pemikiran agama dalam islam praktis tidak mengalami perkembangan. Ada suatu masa ketika pemikiran Eropa menerima inspirasi dari dunia Islam.Akan tetapi , fenomena yang paling jelas dari sejarah modern adalah bahwa secara spiritual dunia islam sedang bergerak ke arah Barat dengan kecepatan yang tinggi.


Tipologi mainstream pemikiran dalam menyikapi turats, menurut Prof.Dr. Said Aqil Siradj terpetakan menjadi dua kelompok, yang pertama adalah kelompok yang menggembar-gemborkan proyek ‘Tajdid al-Turats’, representasi dari kelompok ini adalah para akademisi dan para pemikir kontemporer, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang menghendaki untuk ‘membebek’ atau ‘bertaklid’ kepada produk pemikiran klasik secara verbalistis, representasi dari kelompok ini adalah para ‘pemberhala turats’ yang memiliki asumsi bahwa turats sanggup untuk melayani problematika kontemporer, kelompok ini sangat anti untuk melakukan pembaharuan.

Sementara bagi Dr. Athef al-Iraqi (seorang filsuf Mesir) tipologi pemikiran dalam wacana otentisitas (al-Ashalah) dan modernitas ( al-Mu’asharah) terpetakan menjadi tiga kelompok, pertama adalah aliran yang ingin mempertahankan otentisitas saja, pada gilirannya aliran ini akan ‘mensakralkan turats’, menurut mereka turats sangat identik dengan identitas dan dignity. Kedua, aliran yang mengambil modernitas saja, mereka beranggapan bahwa pembaharuan harus meniru Eropa, seperti yang telah dilakukan Jepang, mereka memandang sinis terhadap turats dan menganggapnya tidak berguna sama sekali, karena menurutnya turats terlahir dari situasi dan kondisi tertentu. Ketiga, aliran yang mencoba memadukan al-Ashalah dan al-Muasharah,al-Ashalah mewakili wacana Islam klasik, sedangkan al-Mu’asharah mewakili wacana Barat/Eropa. [Dr.Athef al-Iraqi, Orientalisme vis avis Oksidentalisme]


Berbagai tawaran metodologi yang diajukan oleh para pemikir-pemikir modern,
- meminjam istilah yang digunakan Wael B. Hallaq- dari metodologi utilitarian religius sampai utilitarian liberalis telah menjadi buah bibir bagi kalangan akademisi dan islamolog.

Bagi Athef, upaya pembaharuan hanya dapat dilakukan dengan melalui stimulansi terhadap tradisi takwil ( pentakwilan). Pembaharuan wacana keagamaan tidak akan mungkin berlangsung kecuali dengan menggunakan takwil sebagai pisau analisisnya. Kedua kita perlu merespon terhadap tuntutan zaman. Sementara Gamal al-Banna -seorang pemikir prolifik mesir- lebih cenderung untuk ‘merobek turats’ dan menggantikannya dengan turats baru. Baginya turats adalah sesuatu yang modern (baru) bagi masanya, oleh karenanya ‘tajdid al-turats’ adalah suatu keniscayaan.

Menurut hemat kami, dengan segala keterbatasan pergulatan intelektual penulis, metode yang ditawarkan oleh Gamal al-Banna tidaklah bijaksana, karena bersikap nihilistik terhadap turats adalah suatu kesalahan, disamping gamal al-Banna yang tidak menghargai kekayaan khasanah keislaman, juga terbukti turats dalam batas-batas tertentu masih memiliki relevansi untuk dilekukkan kedalam era kekinian dan kedisinian. Penulis cenderung sepakat dengan gagasan pembaharuan yang di tawarkan Dr. Athef, karena pembaharuan harus dimulai dengan membumikan tradisi takwil, atau dengan meminjam istilah yang digunakan Prof.Dr. Said Aqil pembaharuan hanya dalam ranah furu’iyyah bukan dalam ranah Ushuliyyah.

Ikhtitam

Pembaharuan pemikiran keislaman adalah sebuah ikhtiar memberangus kejumudan yang melanda dunia pemikiran islam selama lima ratus tahun, berbagai tawaran metodologi yang digulirkan oleh para pemikir kontemporer harus kita sikapi dengan arif dan obyektif, tradisi kritik harus terus kita lanjutkan sebagai upaya selektiftitas dalam menyikapi wacana-wacana kontemporer, para pemikir pun tidak berkenan jika orang lain ‘mendewakan’ dirinya atau mendogmakan pemikirannya, sebagaimana yang dilakukan oleh para akademisi yang menyebut dirinya sebagai kelompok progresif, kritik bukan berarti benci, sebaliknya apresiasi bukanlah venerasi. Selain itu agar pembaharuan tidak dinilai sporadis, maka diperlukan komunitas khusus yang tekun dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran islam.

Wallahu al-Hadi