width:

27 Desember 2008

Ahlussunnah wal -Jama’ah ‘Agama, Madzhab Atau Manhaj al-Fikr'

Oleh : Muhammad Idris
Terminologi ahlusunnah wal-Jama’ah yang sering disingkat dengan sebutan aswaja, atau bahkan lebih akrab dengan terma sunni, adalah terminologi sederhana yang sering kali kita dengar

Sebagian kalangan memahami ahlussunah sebagai Islam, sebagian lain mendefinisikan aswaja sebagai sebuah madzhab, dan ini merupakan definisi yang sudah masyhur di kalangan umat islam, dikatakan masyhur karena mendefininisikan aswaja sebagai madzhab memiliki akar yang sangat kuat, hal ini bisa kita lihat dalam karya-karya ulama klasik atau bahkan karya ulama pribumi, yakni Syeikh ba’ fadhal at-tubani dalam karyanya yang berjudul kawakib lama’ah, sebuah karya yang mengupas tentang akidah aswaja. Bahkan ada lagi yang mengartikan aswaja sebagai golongan yang sering melakukan tahlilan, muludan (dibaiyyah, barjanzi) dan lain-lain.

Mengidentikkan aswaja dengan islam memberikan implikasi bahwa selain aswaja adalah non-islam, sikap ekslusif dan fanatisme buta nampak sekali pada kepribadian mereka. Dengan demikian pemahaman seperti ini secara tidak langsung menyeret aswaja sebagai sebuah firqah (parpol). Secara historis pemikiran seperti itu sangat tepat untuk diterapkan pada saat ketegangan sunni-syi’i menajam. Karena itu relevankah mengidentikkan aswaja dengan islam pada era saat ini?
Sementara jika difahami sebagai sebuah madzhab, eksistensi aswaja akan semakin mengkristal menjadi sebuah institusi, jelas pandangan ini paradoks dengan fakta sejarah kelahiran aswaja. Ringkasnya kedua pola berfikir di atas menunujukkan pemikiran yang kaku, rigid dan ekslusif.

sedangkan pola “purifikasi” penyempurnaan agama yang digembar-gemborkan kalangan yang mengatasnamakan dirinya ahlusunnah, Sungguh disayangkan sikapnya yang ekslusif, mereka dengan mudah men-takfirkan kelompok lain yang tidak sehaluan dengan mereka. Padahal hujjatul islam abu Hamid al-Ghazali dalam karyanya yang berjudul faysal at-tafriqah (pengurai benang kusut) dengan tegas mengkritik golongan asyariyyah, hanbilah dan muktazilah yang dengan mudah mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut al-Ghazali menyatakan, bahwa kita tidak boleh mengkafirkan orang lain selama orang lain tersebut tidak menyekutukan Allah dan mengakui atas ke-pamungkasan nabi Muhammad SAW.

Pemahaman ketiga muncul untuk menjadikan aswaja tidak lagi ekslusif, yakni aswaja diidentikkan dengan manhaj al-Fikr (teori berfikir), awsaja tidak lagi diartikan sebagai sebuah madzhab, karena sejarah munculnya aswaja bermula dari pergolakan politik, untuk itulah diperlukan penafsiran baru mengenai aswaja, agar supaya aswaja tidak lagi menjadi penyebab konflik ideologi yang menjadikan islam terpecah belah.
Pemaknaan aswaja sebagai metode berfikir, memiliki cakupan yang sangat luas, karena kriteria aswaja adalah setiap aliran yang memiliki tiga prinsip dasar yakni:
1.konsep Ilahiyyah, artinya meng-Esakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya
2.Konsep Nubuwwah, yakni meyakini bahwa nabi Muhammad adalah nabi pamungkas
3.Konsep Ma’ad, adalah meyakini akan adanya hari kebangkitan

Pemaknaan aswaja sebagai metode berfikir diproyeksikan untuk mempersatukan ummat, tidak terkotak-kotak dan yang penting tidak mudah mengkafirkan orang lain.

WAllahul Haadi