width:

05 Februari 2009

Golput dalam konteks pilpres dan pileg (pemilihan anggota legislatif)*

Oleh: Muhammad Idris Mas’udi**

Dalam wawasan klasik wacana nashbul imam (pengangkatan pemimpin) sudah sangat ramai diperbincangkan, diantara tema yang menarik diperdebatkan kala itu adalah seputar apakah pengangkatan terhadap seorang pemimpin apakah merupakan kewajiban (fardlu ) atau kesunnahan.

Dalam karyanya tafsir Bahr al-Muhith, Atsir al-Din Bin abi al-Hayyan merekam perdebatan sengit tentang hal di atas, beliau mengemukakan ada tiga pendapat, pertama, pendapat ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengatakan bahwa pengangkatan seorang imam adalah kewajiban, kedua, pendapat kaum khawarij, mereka menyatakan bahwa pengangkatan imam bukanlah suatu kewajiban, Ketiga, pendapat kaum ‘Ibadiyah mengatakan sunnah. {1}

Kaum teolog (Mutakallimun) dalam masalah ini tampaknya sepakat dengan pendapat pertama, untuk menguatkan argumennya mereka mendapuk piranti metodologi kaidah fiqh yang cukup populer, yakni ma la yatimmu al-Wajib Illa bihi fahuwa wajib (sesuatu yang menjadi penyempurna kewajiban adalah wajib hukumnya), Secara ilustratif mereka menggambarkan kewajiban penegakan hukuman Had, bahwa hukum had adalah wajib untuk ditegakkan, sementara umat Islam sepakat bahwa hal itu (penegakan hukum had) tidak bisa direalisasikan kecuali oleh Imam, kesimpulannya mengangkat Imam adalah wajib, karena ia menjadi penopang terlaksananya kewajiban (hukuman had). {2}

Al-Mawardi dalam karya impresifnya Al-Ahkam Sulthaniyyah, menegaskan bahwa kewajiban memimpin negara adalah kewajiban kolektif (Fard kifayah) sebagaimana jihad dan mencari Ilmu, manakala salah satu dari rakyat yang berkompeten dalam kepemimpinan telah terpilih menjadi pemimpin gugurlah kewajiban rakyat atas kepemimpinan, kemudian lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa bila belum ada yang tepilih maka terdapat dua golongan yang memiliki kaitan akan perihal kepemimpinan, pertama kelompok yang menjadi wakil rakyat yang bertugas untuk mengangkat seorang pemimpin (ahlul halli wal aqdi), mereka berhak untuk memilih pemimpin, kedua rakyat yang berstatus yang dipilih – para calon yang memenuhi kriteria menjadi pemimpin - salah satu diantara mereka mereka berhak untuk menjadi pemimpin. {3}

Permasalahan di atas akan semakin menarik untuk diperbincangkan ketika dibenturkan dengan realitas kekinian dan keindonesiaan, yakni tentang pemilihan umum yang akan digelar bulan April mendatang, terutama berkaitan dengan isu golput. Tulisan ini hendak mengetengahkan isu seputar golput terkait dengan eksistensi demokrasi ala indonesia.


Proses pemilihan pemimpin dalam Islam
Ada berbagai cara dalam konsep pemilihan kepemimpinan, dalam kitab adwa’ul bayan fi tafsiril Qur’an bil-Qur’an, Syaikh Muhammad Amin al-Syanqithi menjelaskan bahwa dalam Islam terdapat empat varian proses pemilihan seorang pemimpin;

1. Penunjukan langsung oleh baginda nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang terjadi dalam kepemimpinan sahabat Abu Bakar, Sebagian Ulama berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakar adalah atas penunjukkan Nabi Muhammad, mereka mendasarkan pendapatnya dengan suatu kejadian dimana nabi Muhammad menyuruh sahabat Abu Bakar untuk menjadi Imam Shalat, hal ini merupakan Isyarah (petunjuk) yang jelas akan penunjukan nabi terhadap kepemimpinan Abu Bakar kelak ketika beliau Nabi wafat.

2. Kesepakatan orang-orang yang berkompeten dalam hal pemilihan pemimpin yang bertugas sebagai pembuat kebijakan (ahlul halli wal aqdi), sebagian ulama berpendapat bahwa kepemimpinan sahabat abu Bakar bukan berdasarkan penunjukan langsung oleh baginda Nabi Muhammad saw, melainkan atas kesepakan kaum Muhajirin dan Anshar setelah terjadinya polemik atas siapakah pemegang tampuk kepemimpinan pasca wafatnya nabi Muhammad saw.

3. Pengangkatan atau penunjukkan langsung oleh pemimpin sebelumnya, dalam sejarah umat Islam, contoh varian ini terjadi pada kepemimpinan sahabat ‘Umar yang merupakan pengangkatan langsung oleh khalifah sebelumnya (sahabat Abu bakar), senada dengan varian ini adalah pembentukan dewan syura yang terdiri dari enam sahabat oleh sahabat Umar untuk pemilihan pemimpin setelahnya.

4. Sebagian ulama berpendapat bahwa tampuk kepemimpinan juga bisa diperoleh melalui pembaitan seseorang, sebagaimana yang terjadi pada pembaitan Abu Bakar terhadap ‘Umar. {4}

Dengan berbagai varian yang ditawarkan oleh Syaikh Muhammad Amin, kemudian pertanyaannya adalah sistem pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung di negara Indonesia apakah sesuai dengan hal di atas???
Diakui atau tidak, bila ditinjau dari satu sisi, sistem pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan oleh negara kita tercinta mulai tahun 2004 tidaklah sejalan dengan aturan syariat, tersebab pemilihan presiden secara langsung yang sering disebut sebagai pemilihan demokratis ini melibatkan seluruh elemen rakyat untuk menggunakan hak suaranya, padahal berapa juta rakyat yang tidak memiliki kompetensi dalam memilih calon presiden, belum lagi banyaknya para calon yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan dalam perihal kepemimpinan. Sehingga wajar bila kasus ‘money politik’ begitu merajalela saat menjelang pemilihan presiden. Karena calon yang ‘sering memberi’ akan mendapat perhatian dari masyarakat.

Sedangkan prinsip demokrasi atau Syura yang senafas dengan syariat hanya melibatkan para pemilih yang berkompeten saja dalam hal ini sering disebut dengan ahl al-Halli wa al-Aqdi {5}, hemat penulis amatlah wajar bila Islam hanya memperkenankan ahl-Halli Wa al-Aqdi dalam proses pemilihan dengan tanpa melibatkan seluruh rakyat, karena mereka lebih tahu siapa yang berhak memegang tahta kepemimpinan.

Namun bila melihat faktor-faktor lain, seperti hukum pengangkatan pemimpin adalah fardlu kifayah, juga eksistensi presiden di Indonesia adalah dloruri bi asy-Syaukah (kekuasaan de fakto), dimana kekuasaan akan hilang ketika masa jabatan berakhir. Maka mau tidak mau pemilihan presiden secara langsung harus dilakukan dan rakyat indonesia wajib memilih calon presiden dan wakilnya.

Golput atau golongan putih adalah sebuah istilah yang disematkan kepada sebuah golongan yang tidak mau menggunakan hak pilih dalam sebuah pemilihan, baik pemilihan kepala desa, bupati, gubernur atau bahkan pemilihan presiden. Motif yang melatarbelakangi golongan ini untuk tidak menggunakan hak pilihnya sangat beragam, adakalanya karena mereka bosan dan enggan untuk memilih para calon pemimpin yang secara faktual-empirik tidak lagi memperhatikan nasib rakyatnya, bahkan sebagian lain mengomentari para anggota dewan dengan ungkapan “jangankan untuk menyalurkan aspirasi rakyat, wong sidang aja kerap bolos”. Dan masih banyak lagi alasan-alasan golongan ini untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

Untuk menyikapi masalah golput ini kita harus bersikap arif, dengan melihat beberapa aspek yang berkaitan dengannya, sebagaimana kita ketahui pemilihan pemimpin adalah fardlu kifayah, dan dalam Islam sendiri proses pemilihan presiden hanya terkhusus bagi orang-orang yang memiliki kompetensi, sehingga permasalahan golput ini harus dipilah dengan melihat pelaku, dan ekses yang ditimbulkan darinya. Faktor lain yang amat erat kaitannya dengan golput adalah pemerintah memberikan hak kepada rakyatnya untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya, sehingga secara hukum kenegaraan rakyat bebas untuk memilih atau tidak memilih (abstain atau golput) dalam pemilihan umum. Dengan segala keterbatasan pergulatan intelektual penulis, permasalahan golput di atas secara sederhana dapat disimpulkan, bahwa hak pilih bagi orang-orang yang berkompeten dalam pemilihan seorang pemimpin harus benar-benar digunakan dalam rangka penegakan hukum fardu kifayah yang dalam hal ini adalah pengangkatan seorang kepala negara, atau anggota dewan, tersebab merekalah yang sebenarnya memiliki kewajiban menentukan pemimpin. Sedangkan untuk para rakyat yang tidak berkompeten dalam masalah memilih pemimpin (bukan golongan Ahl al-Halli Wa al-Aqdi) diperbolehkan untuk golput dengan catatan tidak ada kekhawatiran akan terbengkalainya pesta demokrasi, serta gagalnya calon terbaik menjadi kepala negara.
WaLlahu A’lam

FOOTNOTE


** Adalah Mahasiswa semester 2 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
{1} Atsir al-Din Bin abi al-Hayyan , Bahr al-Muhith, Vol 1 hal 496, Maktabah Syamelah

{2} Dhohir al-Din Bin Abi Ja’far, Tafsir al-Nasayburi, Vol 3 hal 27, Maktabah Syamelah, bandingkan dengan Fakhr al-Razi Tafsir Mafatih al-Ghaib Vol 6 hal 57

{3} Al-Mawardi, Al-Ahkam Sultaniyyah, Vol I hal 40

{4} Syaikh Muhammad Amin al-Syanqithi, Adwa’ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an, vol I hal 30
{5} Maushu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Vol XXXVII, hal 6-7