width:

28 Maret 2009

Genealogi Maqashid Syari’ah dan urgensinya dalam Ijtihad

Oleh: MUHAMMAD IDRIS MAS’UDI*

“Tidak ada yang menyangkal bahwa syari’at yang di bawa oleh para Nabi bertujuan untuk kemaslahatan manusia” Imam al-Qurthubi

“ Semua umat manusia sepakat bahwa pembuat syari’at (Allah) dalam membuat ketentuan syari’at sangat mempertimbangkan kemaslahatan manusia ” Imam al-Syathibi

“ Dasar pembuatan hukum adalah kemaslahatan manusia, setiap masalah yang tidak mengandung cita kemaslahatan bahkan cenderung merusak kemaslahatan, bukanlah sebuah syari’at ” Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

“ Asumsi yang mengatakan bahwa hukum-hukum syariat tidak mencakup nilai kemaslahatan adalah sebuah asumsi keliru ” Syeikh WaliyuLlah Al-Dahlawi

Abstraksi
Pengkajian maqashid Syari’ah dalam beberapa tahun terakhir mengalami kemajuan yang sangat pesat, hal ini bisa dilihat dari kajian-kajian maqashid syari’ah dalam forum-forum diskusi, artikel-artikel lepas bahkan skripsi, tesis dan disertasi.
Tulisan di bawah ini hendak mengetengahkan seputar kajian maqashid syari’ah dan mencoba menelusuri akar genealogis maqashid sembari sedikit mengurai urgensi maqashid syari’ah sebagai amunisi ijtihad dalam mengatasi problem-problem kekinian dan ke-Indonesia-an.


Definisi Maqhasid Syari’ah

Maqhasid adalah bentuk plural dari kata maqshid yang dalam hal ini berarti makna atau tujuan syariat. Sedangkan syari’at adalah sesuatu ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah swt terhadap hamba-Nya agar dengan tuntunan syari’at hamba-Nya mendapatkan petunjuk, atau dengan ungkapan lain syari’at adalah suatu ketentuan hukum yang terangkum dalam al-Qur’an dan al-Hadis.

Pendekatan maqhasid dalam kajian ushul fiqh sangat dibutuhkan oleh para pakar ijtihad (baca:mujtahid), maqashid menjadi salah satu piranti bagi mujtahid dalam memecahkan sebuah problematika, disisi lain pendekatan maqhasid diharapkan mampu mencairkan (mendamaikan) dua kubu pemikiran islam yang sama-sama ekstrim, yakni kelompok liberalis dan fundeamentalis, karena pendekatan maqhasid diharapkan menjadi metode pendekatan yang dapat diterima oleh semua golongan, pendekatan maqhasid tidak sama dengan hermeneutika, karena pendekatan maqhasid memiliki akar yang sangat kuat dalam tradisi pemikiran Islam.

Genealogi Maqhasid syari’ah

Secara geneologis rancang bangun pemikiran maqhasid bukanlah temuan baru, maqhasid bukanlah hasil capaian para sarjana kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik, kendatipun term maqashid belum ditemukan dalam kitab-kitab ‘anggitan’ para sarjana klasik, namun hal itu sudah “terangkum dan tercecer” dalam pembahasan tentang qiyas.

Al-Hakim al-Tirmidzi

Dr.Ahmad Raysuni (guru besar ushul fiqh Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko) mengurai asal-usul dan sejarah perkembangan maqhasid syari’ah. Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Tirmidzi yang populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi (W. akhir abad ke-3 H) adalah orang pertama yang mempergunakan kata maqhasid dalam karyanya yang berjudul al-Shalat wa Maqhasiduha, dalam kitab itu al-Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari tata cara shalat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir dan seterusnya.

Al-Qaffal dan Abu Ja’far

Setelah al-Hakim menggulirkan ide genialnya tentang hikmah-hikmah shalat, kemudian muncullah Abu Bakar al-Qaffal (W.365), beliau telah menulis sebuah kitab berjudul Mahasin al-Syariah, segala puji hanya milik Allah, kitab ini sudah dicetak beberapa kali, bahkan menurut Dr. Raysuni manuskrip kitab ini ada di Turki dan Maroko. Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari ulama sekaliber Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Abu Bakar Ibnu ‘Arabi. Keduanya memuji karya al-Qaffal, terutama Ibnu Qayyim yang merasa patut untuk berterima kasih kepada al-Qaffal yang telah ‘menyudahi’ tesis-tesis muktazilah tentang baik-buruk.

Selain al-Qaffal, ada ulama syi’ah yang juga disebut sebagai “ulama maqhasidi”, yakni Abu Ja’far Muhammad Bin ‘Aly (W.381 H), kitab terpenting beliau yang membahas isu-isu maqashid adalah kitab yang bertitel “Ilal al-Syara’i”, kitab berhaluan syiah ini mejelaskan tentang ‘illat-‘illat hukum madzhab syi’ah. Pada era ini juga ada ulama maqhasidi selain Abu Ja’far, Abu Hasan al-Amiri (W.381), beliau adalah filsuf yang juga intens dalam mengkaji maqashid. Karyanya yang mengupas maqashid syari’ah terekam dalam kitab “al-I’lam bi Manaqib al-Islam” , salah satu isu terpenting dalam kitab itu adalah tentang ‘daruriyat khoms’ yang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri.

Al-Juwayni dan al-Ghazali

Gagasan yang dicetuskan al-Amiri mengilhami Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwayni (W.478 H) - guru dari hujjatul Islam Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali (W.505H) - untuk memetakan maqashid syariah menjadi kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial, setiap satu dari kedua prinsip ini dipetakan lagi menjadi lima prinsip, yakni Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs, Hifdz al-mal, Hifdz al-Nasl, Hifdz’aql.
Pemetaan maqashid yang dilakukan al-Juwayni tentang kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial yang terangkum dalam kitabnya (al-Burhan fi Ushul Ahkam) diteruskan oleh muridnya, al-Ghazali, di tangan al-Ghazali kajian maqhasid memiliki cakupan lebih luas , al-Ghazali memetakan maqhasid syariah menjadi tiga:

1. Dlaruriyah (Kebutuhan primer)
2. Hajiyah (Kebutuhan sekunder)
3. Tahsiniyyah (Kebutuhan suplemen)

Dari ketiga pemetaan di atas, al-Ghazali membagi lima kategori:
1. Hifdz al-Din, melindungi agama, yang terimplementasikan dalam kebebasan memeluk agama dan kewajiban untuk menghormati agama lain
2. Hifdz al-Nafs, melindungi jiwa, dengan diterapkannya hukum pidana sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa-jiwa manusia.
3. Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dilegalisasikannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.
4. Hifdz al-Aql, melindungi akal, yang diterapkan melalui diharamkankannya khamr, hak untuk mendapatkan pendidikan.
5. Hifdz al-Mal, melindungi harta, hak mendapatkan pekerjaan, disyariatkannya hukum potong tangan bagi pencuri.

Sejatinya, sarjana-sarjana maqashidi (ulama yang intens mengkaji maqashid syariah) pasca al-Juwayni dan pra Syathibi bukan hanya al-Ghazali saja, karena sarjana-sarjana klasik seperti Fakhruddin al-Razi, Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, Izzudin Ibnu Abdissalam, Syihabuddin al-Qarafi, Saefuddin al-Amidi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi sampai ulama kontroversial Najmuddin al-Thufi juga intens dalam mengkaji maqashid syari’ah.

Sekilas tentang Najmuddin al-Thufi

Khusus yang disebut terakhir , belakangan ini pemikirannya menjadi primadona bagi kalangan Muslim liberal, al-Thufi (w.716 H) adalah pakar ushul fiqh yang menurut prof.Dr.Wahbah Zuhayli, sempat bermadzhab syafi’i itu menjadi idola para punggawa muslim liberal seperti Abdul moqshit Ghazali dkk, bahkan kaidah-kaidah ushul fiqh baru yang diwacanakan oleh ‘para pengobral maslahat’ (moqshit dkk,) adalah hasil ‘copy- paste’ dari kaidah-kaidah kontroversial al-Thufi.

Tanqih al-Nushus bi al-Maslahat ( Nash al-Qur’an bisa diamandemen bila bertentangan dengan maslahat) adalah salah satu kaidah ushul yang dicetuskan oleh al-Thufi, kaidah ini hendak menyatakan bahwa nash (al-Qur’an dan al-Hadis) bisa dianulir bila bertentangan dengan maslahat. Kaidah ini oleh al-Thufi hanya diberlakukan dalam konteks muamalat saja, karena menurut al-Thufi, dalam ranah muamalat manusia memiliki otoritas dalam mengamandemen nash dengan maslahat, sebab menurutnya, Allah memberikan kebebasan kepada manusia dalam ranah muamalat, sedangkan dalam ranah ibadah mutlak milik Allah swt.

Wacana yang digulirkan al-Thufi sendiri bukan tanpa kritik, pakar ushul fiqh menghujani kritik terhadap gagasan kontroversial al-Thufi terutama pakar-pakar ushul fiqh kontemporer, diantaranya adalah Dr.Said Ramadhan al-Buthi dan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayli. Bahkan, menurut al-Buthi dalam dlawabith al-Maslahat menyatakan bahwa gagasan al-Thufi cacat secara epistemologis, karena menurut al-Buthi, al-Thufi salah dalam mengambil kesimpulan atas apa yang telah dilakukan oleh sahabat umar dalam memberi grasi terhadap pencuri, al-Thufi menurut Buthi menyimpulkan bahwa tindakan sahabat umar tidak memotong tangan pencuri karena melihat kemaslahatan, dari sini al -Thufi menyatakan bahwa sahabat umar telah menganulir nash potong tangan bagi pencuri. Kesimpulan ini menurut Buthi adalah sebuah kesalahan Thufi dalam memahami teks-teks hadis, sebab sahabat umar sebenarnya bukan menganulir teks hukuman potong tangan, melainkan beliau mengkompromikan beberapa teks hadis, yakni hadis potong tangan bagi pencuri dengan hadis tentang menghindari had karena ada kesamaran-kesamaran, karena pencurian dilakukan pada saat musim paceklik, sehingga termasuk dari bagian kesamaran yang berimplikasi untuk tidak melakukan potong tangan bagi pencuri. Sejatinya, dengan menggunakan argumentasi Buthi dalam mematahkan kaidah Thufi dengan sendirinya kaidah-kaidah yang ditawarkan oleh Muslim liberal juga rapuh dan tidak memiliki pijakan referensial yang jelas.

Abu Ishaq al-Syathibi al-Garnathi

Kemudian pada pertengahan abad ke-7 H, muncullah sarjana brilian, Abu Ishaq al-Syathibi, (W.790H) seorang pakar ushul fiqh bermadzhab maliki yang mencoba mensistematiskan maqhasid syariah dengan menambah porsi kajian maqhasid dalam kitab ushul fiqhnya yang berjudul al-Muwafaqat, dalam kitab yang konon manuskripnya ‘dipungut’ oleh Muhammad Abduh di dataran Tunisia itu menguak ilmu maqhasid dalam satu jilid.

Jika al-Syafi’i dipuji dan dianggap sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh, karena telah membuat satu disiplin ilmu ushul yang pertama kalinya, maka al-Syathibi dianggap sebagai bapak maqashid syari’ah, karena beliau telah membuat ilmu maqashid syari’ah sebagai bagian dari ilmu ushul fiqh.

Pujian terhadap al-syathibi tidaklah berlebihan, karena, pertama kendatipun pakar ushul fiqh sebelumnya telah membuat kajian tentang maqashid syariah, namun pembahasannya masih ‘tercecer’ dalam bab qiyas. Kedua, pengakuan dari syaikh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur –(W.1973 M)seorang ulama kontemporer yang mencoba mengindependensikan ilmu maqashid syariah sebagai ilmu yang terlepas dari ushul fiqh- beliau menyatakan metode yang ia tempuh menapaktilasi metodologi al-Syathibi. Ketiga, al-Syathibi telah mengukuhkan kajian maqashid syari’ah yang sebelumnya mengalami kemandegan.

Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur

Setelah melakukan penelusuran secara genealogis tentang munculnya kajian maqashid dengan melacak akar sejarahnya, sampailah kita untuk mengupas seorang pakar ushul fiqh kontemporer yang sangat berkompeten dalam kajian maqashid syari’ah, adalah Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal dari Tunisia.

Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh, beliau dijuluki sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi dijuluki ‘guru pertama’. Beliau telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan pembahasan maqashid ke dalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang di dalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga, maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan dan kesaksian dan lain-lain.

Urgensi maqashid syariah dalam ranah ijtihad

Sangat tidak bijak jika dalam melakukan ijtihad hanya menyingkap teks secara literal dan tidak menghiraukan maqashidnya, bahkan sangatlah naif kalau mengabaikannya begitu saja, memang benar kajian sintaksis-grammar sangat dibutuhkan guna menguak teks-teks suci. Namun karena memahami teks suci tidaklah cukup untuk berhenti pada kajian lafad. Maka memahami maqashid syariah adalah sebuah keniscayaan.

Metodologi menguak maqashid

Metode yang pertama kali harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyibak maqashid adalah metode penelitian (Istiqra’) terhadap hukum-hukum yang telah diketahui alasan-alasan (baca; Illat) hukumnya. Karena dengan telah diketahuinya illat hukum, maka akan dengan mudah memahami maqashidnya. Kedua, memahami dalil-dalil al-Qur’an dan al-hadis yang jelas (wadih), yang mana dengan dalil itu dapat memberi keyakinan akan maksud sebuah teks. Ketiga, Mencermati hadis-hadis mutawatir, sebagaimana memahami mutawatir yang dihasilkan dengan menyaksikan sesuatu yang dilakukan oleh para sahabat dari Nabi, dari sini kita bisa mengambil sebuah pengetahuan pasti (ma’lum bi daruri).

Maqashid syariah juga bisa diketahui melalui beberapa pemahaman:

1. Melalui perintah dan larangan yang jelas, karena setiap perintah memiliki implikasi bahwa terlaksanya perintah tersebut merupakan sebuah maksud syariat.
2. Melalui pemahaman illat-illat perintah dan larangan, sebagaimana disyariatkannya nikah karena kemaslahatan keturunan, disyariatkannya jual beli karena pemanfaatan barang (mabi’)
3. Pembuat syariat (syari’) dalam menetapkan syariat memiliki maksud utama dan maksud yang tidak utama, diantaranya ada yang secara eksplisit tertera maksudnya dan sebagian lain tidak.

Setelah mengupas akar genealogis maqashid syari’ah dan menyinggung urgensinya dalam ijtihad, setidaknya dapat kita simpulkan, pertama, akar formulasi-formulasi maqashid yang telah dikerangkakan oleh para pakar maqashidi memiliki pijakan referensial yang kokoh, kita sebagai generasi penerus harus mengapresiasi dan mengembangkannya, karena kajian maqashidi dalam konteks keindonesiaan masih sangat minim. Kedua, membentuk komunitas khusus untuk mengkaji secara intens mengenai maqashid syari’ah, hal ini diharapakan agar tumbuh intelektual-intelektual yang mumpuni dalam bidang maqashid.

WalLahu a’lam.
* Penulis adalah Mahasiswa fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri Jakarta.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kotak saran 'en' kritik