width:

14 November 2009

TAFSIR MAQASHIDI ; SEBUAH METODE PENAFSIRAN ALTERNATIF Oleh: Muhammad Idris


“Al-Qur’an adalah sumber hukum yang bersifat universal. Ia juga memuat pokok ajaran agama, Serta didalamnya terkandung berbagai macam hikmah-hikmah.”al-Syathibi
“Tidak ada yang menyangkal bahwa syari’at yang di bawa oleh para Nabi bertujuan untuk kemaslahatan manusia” Imam al-Qurthubi
“ Asumsi yang mengatakan bahwa hukum-hukum syariat tidak mencakup nilai kemaslahatan adalah sebuah asumsi keliru ” Syeikh Waliyullah al-Dahlawi
Prolog
Al-Qur’an adalah miracle (mukjizat) yang diturunkan oleh Allah kepada nabi pamungkas Muhammad saw. Disamping itu al-qur’an juga merupakan verbum dei (kalamuLlah) yang telah menyedot perhatian sarjana-sarjana klasik maupun kontemporer untuk mengkajinya. kajian-kajian tentang al-Qur’an tidak hanya diminati oleh para sarjana-sarjana muslim. Para orientalis-orientalis Barat juga banyak yang terpikat untuk mengkaji kitab umat muslim itu.
Nabi Muhammad adalah mubayyin sekaligus mufassir otoritatif atas teks-teks suci al-qur’an. Namun, tidak semua ayat-ayat al-qur’an telah ditafsirkan dan dijelaskan oleh beliau. Salah satu hikmah dari sedikitnya nabi Muhammad menafsirkan al-qur’an adalah ruang gerak para mufasir menjadi begitu luas. Sehingga amatlah wajar bila dalam perkembangan selanjutnya penafsiran-penafsiran al-qur’an sangat variatif.
Seiring dengan melesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, serta bertubi-tubinya problematika yang harus dihadapi oleh umat manusia membawa dampak yang cukup massif atas perkembangan pendekatan-pendekatan penafsiran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama, globalnya bahasa yang terdapat dalam al-quran, serta berakhirnya wahyu pasca wafatnya nabi Muhammad, membutuhkan penafsiran-penafsiran yang beragam sesuai perkembangan zaman. Kedua, Alquran sebagai kitab suci yang bersifat selalu relevan di setiap ruang dan zaman (up to date /Shalih Li Kulli Zaman Wa al- Makan) harus selalu memberi solusi terhadap problematika umat. Sehingga perkembangan tafsir adalah suatu keniscayaan.
Kajian-kajian seputar al-Qur’an selalu diminati oleh umat manusia. Tak terkecuali kajian tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari metode penafsiran klasik seperti tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi hingga tafsir ala hermeneutika yang digulirkan oleh beberapa kalangan kiri islam, selalu ramai diperbincangkan, didiskusikan, dan diperdebatkan.

Tulisan di bawah ini hendak mengetengahkan seputar tafsir maqashid, sembari sedikit menengok sejarah maqashid syari’ah sebagai cikal bakal terinspirasinya gagasan tafsir maqashidi.

Sekilas tentang sejarah kemunculan Maqashid Syari’ah

Maqhasid adalah bentuk plural dari kata maqshad yang dalam hal ini berarti makna atau tujuan syariat. Sedangkan syari’at adalah sesuatu ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah swt terhadap hamba-Nya agar dengan tuntunan syari’at hamba-Nya mendapatkan petunjuk, atau dengan ungkapan lain syari’at adalah suatu ketentuan hukum yang terangkum dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
Secara genealogis rancang bangun pemikiran maqhasid syari’ah bukanlah temuan baru. Maqhasid syari’ah bukanlah hasil capaian para sarjana kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik, term maqashid telah ditemukan dalam kitab-kitab ‘anggitan’ para sarjana ushul fikih klasik, namun hal itu masih terangkum dan tercecer dalam pembahasan tentang qiyas.
Dr.Ahmad Raysuni (guru besar ushul fiqh Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko) mengurai asal-usul dan sejarah perkembangan maqhasid syari’ah. Abu `Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Tirmidzi yang populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi (W.akhir abad ke-3 H) adalah orang pertama yang mempergunakan kata maqhasid dalam karyanya yang berjudul al-Shalat wa Maqhasiduha, dalam kitab itu al-Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari tata cara shalat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir dan seterusnya.
Setelah al-Hakim menggulirkan ide genialnya tentang hikmah-hikmah shalat, kemudian muncullah Abu Bakar al-Qaffal (w.365), beliau telah menulis sebuah kitab berjudul Mahasin al-Syariah, segala puji hanya milik Allah, kitab ini sudah dicetak beberapa kali, bahkan menurut DR. Raysuni manuskrip kitab ini ada di Turki dan Maroko. Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari ulama sekaliber Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Abu Bakar Ibnu ‘Arabi. Keduanya memuji karya al-Qaffal, terutama Ibnu Qayyim yang merasa patut untuk berterima kasih kepada al-Qaffal yang telah ‘menyudahi’ tesis-tesis muktazilah tentang baik-buruk.
Selain al-Qaffal, ada ulama syi’ah yang juga disebut sebagai “ulama maqhasidi”, yakni Abu Ja’far Muhammad Bin ‘Aly (W.381 H), kitab terpenting beliau yang membahas isu-isu maqashid adalah kitab yang bertitel (‘Ilal al-Syara’I’), kitab berhaluan syiah ini mejelaskan tentang ‘illat-‘illat hukum madzhab syi’ah.Pada era ini juga ada ulama maqhasidi selain Abu Ja’far, Abu Hasan al-Amiri (W.381), beliau adalah filsuf yang juga intens dalam mengkaji maqashid. Karyanya yang mengupas maqashid syari’ah terekam dalam kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam’ , salah satu isu terpenting dalam kitab itu adalah tentang ‘dharuriyat al- khams’ yang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri.
Gagasan yang dicetuskan al-Amiri mengilhami Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwayni (w.478 H) - guru dari hujjatul Islam Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali (w.505H) – untuk memetakan maqashid syariah menjadi kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial. Setiap satu dari kedua prinsip ini dipetakan lagi menjadi lima prinsip, yakni Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs, Hifdz al-mal, Hifdz al-Nasl dan Hifdz ‘Ird.
Pemetaan maqashid yang dilakukan al-Juwayni tentang kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial yang terangkum dalam kitabnya (al-Burhan fi Ushul al-Ahkam) diteruskan oleh muridnya, al-Ghazali. Di tangan al-Ghazali kajian maqhasid memiliki cakupan lebih luas , al-Ghazali memetakan maqhasid syariah menjadi tiga:
1. Dlaruriyah (Kebutuhan primer),
2. Hajiyah (Kebutuhan sekunder)
3. Tahsiniyyah (Kebutuhan suplemen)
Dari ketiga pemetaan di atas, al-Ghazali membagi lagi menjadi lima kategori:
1.Hifdz al-Din, melindungi agama, yang terimplementasikan dalam kebebasan memeluk agama dan kewajiban untuk menghormati agama lain.
2.Hifdz al-Nafs, melindungi jiwa, dengan diterapkannya hukum perdata sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa-jiwa manusia.
3.Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.
4.Hifdz al-Aql, melindungi akal, yang diterapkan melalui diharamkankannya khamr, hak untuk mendapatkan pendidikan.
5.Hifdz al-Mal, melindungi harta, hak mendapatkan pekerjaan, disyariatkannya hukum potong tangan bagi pencuri.
Sejatinya, sarjana-sarjana maqashidi (ulama yang intens mengkaji maqashid syariah) pasca al-Juwayni dan pra Syathibi, bukan hanya al-Ghazali , karena sarjana-sarjana klasik seperti Fakhruddin al-Razi, Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, Izzudin Ibnu Abdissalam, Syihabuddin al-Qarafi, Saefuddin al-Amidi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi sampai ulama kontroversial Najmuddin al-Thufi juga intens dalam mengkaji maqashid syari’ah.
Kemudian pada pertengahan abad ke-7 H, muncullah sarjana brilian, Abu Ishaq al-Syathibi, (W.790H) seorang pakar ushul fiqh bermadzhab maliki yang mencoba mensistematiskan maqhasid syariah dengan menambah porsi kajian maqhasid dalam kitab ushul fiqhnya yang berjudul al-Muwafaqat, dalam kitab yang konon manuskripnya ‘dipungut’ oleh Muhammad Abduh di dataran Tunisia itu menguak ilmu maqhasid dalam satu jilid.
Jika al-Syafi’i dipuji dan dianggap sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh, karena telah membuat satu disiplin ilmu ushul yang pertama kalinya. Maka al-Syathibi dianggap sebagai bapak maqashid syari’ah, karena beliau telah membuat ilmu maqashid syari’ah.
Pujian terhadap al-syathibi tidaklah berlebihan, karena, pertama kendatipun pakar ushul fiqh sebelumnya telah membuat kajian tentang maqashid syariah. Namun pembahasannya masih ‘tercecer’ dalam bab qiyas. Kedua, Syaikh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur -seorang ulama kontemporer yang mencoba mengindependensikan ilmu maqashid syariah sebagai ilmu yang terlepas dari ushul fiqh-, menyatakan “kajian maqashid syari’ah yang ia tempuh mengikuti metodologi al-Syathibi. Ketiga, al-Syathibi telah mengukuhkan kajian maqashid syari’ah yang sebelumnya mengalami kemandegan.
Setelah melakukan penelusuran secara genealogis tentang munculnya kajian maqashid dengan mengupas tokoh-tokoh klasik yang intens mengkaji maqashid syari’ah. Penulis mencoba mengupas seorang pakar ushul fiqh kontemporer yang sangat berkompeten dalam kajian maqashid syari’ah. Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Beliau diberi gelar sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi yang dijuluki ‘guru pertama’. Beliau telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan pembahasan maqashid kedalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang didalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga, maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan, dan kesaksian dan lain-lain.
Definisi Tafsir Maqashidi
Term tafsir maqashidi bagi sebagian kalangan bisa dibilang belum akrab ditelinga, karena kajian maqashid syari’ah yang berkembang di Indonesia belum menyentuh kepada kajian maqashid dalam metode penafsiran. Para ‘pengobral maslahat’ (sebutan yang biasa disematkan kepada Jaringan Islam Liberal) pun hanya mengkaji maqashid syariah dalam ranah ushul fikih. Disamping itu di Indonesia belum banyak-untuk mengatakan tidak ada- pakar maqashid syariah. Hal ini berbeda dengan kajian maqashid syariah di Maroko, Mesir, dan negara-negara timur tengah lainnya.

Kata maqashidi dalam ‘tafsir maqashidi’ adalah kata maqhashid yang dibubuhi ya’ nisbah. Berarti tafsir maqashidi adalah tafsir yang menggunakan pendekatan maqashid syari’ah, atau dengan kata lain tafsir maqashidi adalah sebuah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan menguak dan memepertimbangkan maqashid syari’ah. Hal ini sedikit yang membedakan tafsir maqashidi dengan tafsir-tafsir konvensional lainnya. Seperti tafsir falsafi yang hanya berkutat dengan teori-teori filsafat atas sebuah hikmah saja. Atau juga tafsir sufi yang mengedepankan pendakian kontemplatif sang sufi dalam menyibak teks-teks suci.

Tafsir maqashidi tidak mengabaikan teori-teori baku tentang penafsiran, seperti asbab nuzul, ‘am-khos, mujmal-mubayyan dst. Di samping itu tafsir maqashidi juga hirau akan perangkat-perangkat ilmu-ilmu umum seperti sosiologi, antropologi, dan filsafat.

Awal Kemunculan Tafsir Maqashidi
Diskusi tentang kajian al-Qur’an dilakukan pada pertengahan April 2007 yang lalu. Simposium ilmiah internasional yang mengusung tema “metode alternatif penafsiran al Qur’an” diadakan di kota Oujda, Maroko. Kegiatan ilmiah yang memakan waktu selama tiga hari ini (18, 19, 20) sengaja dikonsentrasikan pada kajian seputar tafsir maqasidi (tafsir al Qur’an melalui pendekatan maqashid syari’ah).

Sebenarnya topik seputar tafsir maqashidi pernah diangkat secara tuntas oleh Nuruddin Qirath dalam disertasi doktoralnya (di universitas Muhammad V) yang mengangkat tema tentang ‘tafsir maqasidi menurut perspektif ulama Maghrib Arabi’, begitu juga oleh profesor Jelal al Merini dari universitas al Qurawiyien dalam bukunya Dhowabit al- Tafsir al Maqasidi li al- Qur’an al- Karim (ketentuan tafsir maqashidi terhadap al Qur’an), dan Hasan Yasyfu, dosen senior di universitas Oujda, Maroko, dalam bukunya al Murtakazaat al maqasidiyah fi tafsir an Nash ad Dini (penekanan sisi maqasid dalam menafsiri teks keagamaan), namun sebagai pendongkrak ide yang dituangkan melalui karya-karya tulis mereka ini, komunitas ulama, intelektual, dan akademisi Maroko bahu membahu mensosilaisasikannya melalui simposium ilmiyah internasional pada bulan April 2007 tersebut.

Kajian tafsir maqashidi yang diangkat sebagai topik utama dalam simposium saat itu, mengacu pada tiga tujuan, yaitu; meningkatkan budaya membaca al Qur’an, budaya menghayati makna kandungan, dan budaya mengaplikasi ajarannya. Diskusi tafsir maqashidi tetap mengacu pada eksistensi keistimewaan al Qur’an sebagai wahyu illahi (kitab suci), yang menjadi petunjuk bagi umat Islam.

Urgensi Maqashid Syari’ah dalam Penafsiran
Memahami tentang maqashid syari’ah bagi seorang mufassir dinilai sangat urgen. Karena maqashid syariah merupakan salah satu piranti penafsiran yang tidak boleh diabaikan bagi mufassir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh al-Fasi dalam bukunya yang berjudul Maqashid Syari’ah Wa Makarimuha , sebagaimana disitir oleh DR. Muhammad Sa’ad Bin Ahmad al-Yubi, “ Ketika seorang mufassir hendak menafsirkan ayat al-Qur’an yang tidak ditemukan penjelasannya baik dari ayat al-Qur’an sendiri, hadis nabi atau pendapat sahabat, maka mufassir tersebut harus berijtihad sesuai dengan kadar kemampuannya dalam memahami bahasa Arab.” Lebih lanjut ia mengatakan, “ Namun penafsiran mufassir dalam keadaan di atas (tidak adanya penjelasan dari al-Qur’an, hadis, dan pendapat sahabat) harus mempertimbangkan maqashid syari’ah, bahkan ia harus berpijak darinya”.

Pada tataran teorisnya, tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqashid syari’ah, tidak sepenuhnya menolak ide segar yang ditawarkan oleh produk pemikiran barat dalam pandangannya terhadap teks keagamaan. Sebab metode tafsir ini juga mengakomodir kajian lingusitik, sosiologi, antropologi dan histori dengan kadar tertentu, dan para ulama Maghrib Arabi yang membidani tafsir maqisidi ini sepakat mengusungnya dengan terlebih dahulu memposisikan ayat-ayat al Qur’an sebagai wahyu Illahi (kitab suci) yang tidak bisa diganggu gugat keistimewaannya dan tidak bisa disejajarkan dengan kalam manusia. Poin inilah yang membedakan antara ide hermeneutika yang dipopulerkan oleh peradaban barat (non muslim) dengan ide tafsir maqasidi yang diusung oleh para pemikir Islam.

Pada saat yang sama, tafsir maqashidi tidak mengadopsi sepenuhnya model tafsir yang selama ini ditawarkan oleh ulama-ulama klasik, terutama yang membatasi tafsir al Qur’an hanya bi al-Ma’tsur (dengan riwayat hadits dan pendapat ulama klasik). Dengan demikian, tafsir ini lebih ditekankan sebagai upaya mencari metode yang tepat untuk menafsiri ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan peradaban manusia modern.
Aplikasi Maqashid Syari’ah dalam penafsiran
Dua kitab tafsir dan satu pandangan tafsir yang pernah ditulis oleh ulama kita, memberi "sinyal" atas model tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqashid syari’ah. Pertama, buku tafsir “Ahkam al Qur’an” yang disusun oleh imam Ibn al Arabi (w: 543 H), kedua, buku tafsir at Tahrir wa at Tanwir karya imam besar masjid Ezzitouna, Tunisia, Tahir Ibn Asyur, dan ketiga, pandangan tafsir yang digagas oleh imam Khomaini (w: 1989) ulama besar yang juga merupakan seorang pimpinan revolusi Islam di Iran.

Muhammad Kajoui – pakar tafsir dari universitas Muhammad V Maroko – dalam sebuah kuliyahnya memaparkan bahwa; “Ahkam al Qur’an” buku tafsir yang ditulis pada abad ke 6 Hijriyah ini, memiliki banyak indikasi yang mengarah pada metode Ibn al Arabi (penyusun) menggunakan pendekatan maqashid syari’ah. Di antaranya, proses tarjih (mengunggulkan pendapat) yang dituangkan dalam bukunya selalu disandarkan pada sisi maqashid. misalnya pada pembahasan Qs. An Nur: 4. Bahwa ulama sepakat apabila tuduhan berzina diungkapkan secara tasrih (eksplisit), maka hukumnya al-qadzf (pencemaran nama baik) yang harus di hukum cambuk. Akan tetapi apabila secara ta’rid (implisit) ulama berbeda pendapat, madzhab Maliki menetapkan sama seperti halnya eksplisit, artinya tetap terkena hukum cambuk, namun menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I bukan termasuk al-qadzf (pencemaran nama baik). Dalam menyikapi kasus ini, Ibn al Arabi menegaskan bahwa pendapat Maliki lebih tepat karena mendekati maqashid syari’ah (tujuan) atas disyariatkannya hukum al qadzf.


Begitu juga dengan buku tafsir at- Tahrir wa at Tanwir, karya Ibn Asyur, dalam hal ini, penulis kontemporer al-Maisawi melalui resensinya menguatkan; bahwa pemikiran Ibn Asyur secara umum banyak terpengaruh oleh sudut pandang Imam as Syatibi (w: 790 H). Untuk itulah, tidak heran jika dalam menafsiri ayat-ayat al Qur’an, Ibn Asyur banyak melandaskan pada at- tahlil al- maqashidi (penguraian ayat ditinjau dari sisi Maqasid syari’ah).

Sebagai pelengkap, kita juga bisa menengok pandangan-pandangan tafsir Imam Khomaini melalui beberapa karya tulisnya, di mana sinyal adanya pendekatan maqasid pada pandangan tafsir Imam Khomaini ini pernah dikupas oleh Abd. Salam Zainal Abidin saat membedah pemikiran tafsirnya melalui buku Manhaj imam Khomaini fi at- Tafsir (metode tafsir Imam Khomaini). Dia mengatakan, bahwa tafsir maqasidi yang diterapkan oleh Imam Khomaini ini mengacu pada tiga unsur penting, yaitu; al- Riwa’I (riwayat), al-Irfani (hikmah), dan at- Tadabbur al-Aqli (nalar akal) tiga unsur penting inilah yang kemudian mendominasi pandangan-pandangan tafsir pimpinan besar revolusi Iran.
Epilog
Beragamnya problem kekinian menuntut kita untuk memberikan jawaban atas isu-isu yang berkembang. Kita sebagai kaum terdidik dan terpelajar tidak boleh untuk bersikap apriori dalam masalah ini. Karena itu inovasi-inovasi metode penafsiran yang berkembang dalam ranah tafsir harus kita apresiasi.
Setelah kita memahami akar genealogis maqashid dan tafsir maqashidi, sampailah kita pada sebuah kesimpulan, bahwa tafsir maqashidi juga memiliki pijakan referensial yang kokoh. Karena secara genealogis maqashid syari’ah merupakan salah satu kajian ushul fikih klasik. Berbeda dengan hermeneutika yang asal-usulnya merupakan bagian dari kajian penafsiran bibel. Sehingga hermeneutika, menurut sebagian kalangan, tidak boleh diterapkan sebagai metodologi penafsiran al-Qur’an. Premis-premis di atas merupakan sebuah alasan yang tak terelakkan untuk diterimanya tafsir maqashidi oleh semua kalangan.
Alhasil, tafsir maqashidi diharapkan mampu memberikan sebuah tawaran untuk menjadi sebuah tafsir alternative dalam memberi solusi-solusi atas problematika kontemporer yang kian tak terbendung.
Wallahu A`lam bi al-Shawab




24 Agustus 2009

membedah kimiya al-Sa'adah

كيمياء السعادة - (ج 1 / ص 1)
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي أصعد قوالب الأصفياء بالمجاهدة، وأسعد قلوب الأولياء بالمشاهدة، وحلى ألسنة المؤمنين بالذكر، وجلى خواطر العارفين بالفكر، وحرس سواد العباد عن الفساد، وحبس مراد الزهاد على السداد، وخلص أشباح المتقين من ظلم الشهوات، وصفى أرواح الموقنين عن ظلم الشبهات، وقبل أعمال الأخيار بأداء الصلوات، وأيد
خصال الأحرار بإسداء الصلات.

Syukur kepada Allah SWT yang telah mengangkat jiwa orang-orang suci dengan mujahadah, yang telah membahagiakan hati para wali dengan musyahadah, yang telah menghiasi ucapan-ucapan orang mukmin dengan dzikir, yang telah memulyakan benak orang yang banyak mengetahui serta bijak dalam berfikir, yang telah menjaga khalayak hamba dari kerusakan, yang telah menahan kesulitan dari para ahli zuhud, yang telah menghindarkan orang-orang yang bertakwa dari bayang-bayang nafsu, yang telah menyucikan ruh orang-orang yakin dari segala keraguan, yang telah menerima semua amal perbuatan para cinta kebaikan melalui do'a-do'a dan yang telah menguatkan tali persatuan penyanjung kemerdekaan dengan ikatan yang solid.

أحمده حمد من رأى آيات قدرته وقوته، وشاهد الشواهد من فردانيته ووحدانيته، وطرق طوارق سره وبره، وقطف
ثمار معرفته من شجر مجده وجوده، وأشكره شكر من اخترق واغترف من نهر فضله وإفضاله، وأومن به إيمان من آمن بكتابه وخطابه، وأنبيائه وأصفيائه، ووعده ووعيده، وثوابه وعقابه

Aku memujinya dengan pujian mereka yang telah melihat tanda-tanda kekuasaan dan kekuatannya, yang telah menyaksikan kemahatunggalan-Nya dan wahdaniyyah-Nya, yang telah mengetuk pintu-pintu rahasia-Nya dab kemulyaan-Nya, yang telah memetik buah dari sujud dan ketaatan-Nya. Aku menyukuri-Nya dengan syukur mereka yan telah terbakar dan hanyut dalam arus sungai kemulyaan dan pemulyaan-Nya.

Aku mengimani-Nya dengan iman mereka yang telah mengakui kitab-kitab-Nya, perintah-Nya, para nabi-Nya, para wali-Nya, janji-janjiny-Nya, ancaman-Nya, pahala dan azab-Nya.

Pembukaan diskusi ramadhan di pesantren ciganjur diawali dengan membedah buku kimiya al-sa'adah, sebuah karya al-ghazali.Sejatinya, buku ini akan dibedah langsung oleh gusdur, akan tetapi sampai sekarang gusdur masih dirawat di rscm jakarta. Kendatipun gusdur masih terbaring di rumah sakit, namun himmah dan istiqamah beliau untuk membaca kitab tidaklah surut.Pagi kemarin cak musthafa, santri paling senior gusdur sekaligus orang yang dipercaya gusdur mengendalikan pesantren mahasiswa ciganju, menyuruh empat orang santri menjenguk beliau sekaligus mengaji langsung kepada beliau. Rencanya pengajian langsung di rumah sakit dengan menggunakan telepon seluler agar bisa didengarkan oleh semua santri. Namun, sangat disayangkan, pihak rumah sakit tidak memperkenankan teman-teman untuk menjenguk sekaligus mengaji langsung sama beliau. Mudah-mudahan besok pagi teman-teman diperkenankan menjenguk dan mengaji sama beliau.

Kendatipun tadi pagi tidak bisa membedah karya al-ghazali bersama gusdur. Kami mencoba untuk membedah kitab itu dengan diskusi.Kang maftuhan, seorang santri gusdur senior memulai membaca baris demi baris kitab tersebut. Saya terkaget-kaget ketika kang maftuhan membaca kitab tersebut dengan dibaca dengan makna jawa. Alasan kang maftuhan membaca kitab tersebut dengan tarkib jawa karena gusdur menganjurkan kepada santrinya untuk mengaji kitab dengan makna jawa. Menurutnya, gusdur ingin tetap melestarikan tradisi itu.

جامع الأصول في أحاديث الرسول - (ج 2 / ص 559)

1033 - ( د ت ) أبو هريرة - رضي الله عنه - : أَنَّ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال : «لا يشْكُرُ اللّه منْ لا يشْكُرُ النَّاسَ».-[560]-
وفي رواية عنه قال : «مَنْ لمْ يشْكُر النَّاسَ لَمْ يشْكُر اللّه».
أخرج الأولى أبو داود ، والثانية الترمذي.

[شَرْحُ الْغَرِيبِ]
وقوله : «لا يشكر الله من لايشكر الناس» معناه : أن كل من كان من طبعه وعادته كفران نعمة الناس ، وترك الشكر لهم ، كان من عادته كفر نعمة الله ، وترك الشكر له.
وقيل : معناه : أن الله لا يقبل شكر العبد على إحسانه إليه ، إذا كان العبد لا يشكر إحسان الناس ، ويكفر معروفهم ، لاتصال [ أحد ] الآمرين بالآخر.

[قال أيمن صالح شعبان]
صحيح : أخرجه أحمد (2/258) قال : حدثنا عبد الواحد. وفي (2/295) قال : حدثنا يزيد. وفي (2/302 ، 461) قال : حدثنا عبد الرحمن. وفي (2/388) قال : حدثنا عفان. وفي (2/492) قال : حدثنا بهز. و«البخاري» في الأدب المفرد (318) قال : حدثنا موسى بن إسماعيل. و«أبو داود» (4811) قال : حدثنا مسلم بن إبراهيم. و«الترمذي» (1954) قال : حدثنا أحمد بن محمد. قال : أخبرنا عبد الله بن المبارك.
ثمانيتهم عبد الواحد ، ويزيد ، وعبد الرحمن ، وعفان ، وبهز ، وموسى بن إسماعيل ، ومسلم بن إبراهيم، وابن المبارك عن الربيع بن مسلم.قال : حدثنا محمد بن زياد ، فذكره.
وقال الترمذي : هذا حيث حسن صحيح.

Ketika pembacaan mukaddimah selesai, kang maftuhan mencoba menguak satu kata kunci yang terdapat dalam mukaddmah kitab itu. yakni kata 'syukur'. Dengan menggunakan kekuatan ingatannya, kang maftuhan menjabarkan penjelasan kata syukur yang beliau peroleh dari penjelasan gusdur pada pengajian-pengajian tahun sebelumnya.

Sebagaimana yang kami kutip di atas, ada sebuah teks hadis yang terdapat dalam kitab Jami' al- Ushul Fi-ahadis al-Rasul, karya Ibnu Atsir. Gusdur, kata kang maftuhan, selalu mengingatkan kepada santri-santri, bahwa rasa syukur seorang manusia terhadap Tuhannya tidak akan bisa dicapai kecuali ia telah mampu mensyukuri nkmat-nikmat yang ia rasakan dari sesamanya (manusia lainnya). Atau dengan kata lain, keberpihakan terhadap manusia merupakan manifestasi rasa syukur terhadap Tuhan. Kemudian, kang maftuhan dengan leluconnya mengatakan kepada kami yang notabenenya sebagai santri darussunah, menanyakan tentang kevalidan hadis tersebut.

Hadis di atas sangat mewanti-wanti kepada kita agar selalu mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan yang kita peroleh melalui orang lain.Atau mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan kepada orang lain. Karena, manusia yang memiliki naluri tidak mensyukuri nikmat orang lain niscaya akan tidak mensyukuri nikmat dari Tuhannya.

Kitab ini (kimiyah al-Sa'adah atau anatomi kebahagiaan) adalah sebuah ktab yang menguak tentang kimiyah atau anatomi yang diistilahkan al-ghazali sebagai sebuah sebuah wujud yang berupa jasad manusia. Di dalam kitab ini al-ghazali menggunakan term al-nafs dengan makna jasad, hal ini layak untuk kita perhatikan. Karena al-ghazali dalam karya-karya lainnya memaknai al-nafs sebagai nafsu.

Marilah kita mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan.

Membedah Rasail Imam Junaid Al-Baghdadi (210H-297H) part I



Prolog

Kajian tentang al-Junaid al-Baghadi tidak hanya diminati oleh kalangan umat muslim. Para islamolog-islamolog barat atau yang biasa dikenal dengan sebutan orientalis pun banyak yang terpikat untuk menelaah dan mengkaji al-Junaid. Dimulai dari orientalis kawakan seperti Gobineau, Horten (1884-1945), sampai orientalis kenamaan asal hongaria, ignaz golziher (1850- 1921 M). Para orientalis di atas menyimpulkan bahwa al-Junaid adalah seorang sufi yang menganut faham wahdatul wujud.

Pada babakan selanjutnya ada salah satu orientalis yang memiliki kesimpulan yang berbeda tentang penilaian tasawuf al-Junaid, yakni Hartman (1851M- 1918M). Ia menyimpulkan bahwa al-Junaid merupakan tokoh sufi yang mengislamkan tasawuf.

Kelahiran al-Junaid

Tidak ada sumber otoritatif yang secara pasti menentukan tahun kelahiran Imam Junaid. Pakar sejarawan kerap berbeda pandangan mengenai hal itu. Yang pasti al-Junaid lahir dan berkembang di kawasan Baghdad. Indikasi-indikasi lain seperti kejadian hidupnya serta perjumpaannya bersama para gurunya mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 210 H. Beliau adalah orang yang terawal menyusun dan memperbahaskan tentang ilmu tasawuf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu tasawuf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi.

Imam Junaid adalah seorang ahli perniagaan yang Berjaya, serta kaya raya. Beliau memiliki sebuah gedung perniagaan di kota Baghdad yang ramai dikunjungi pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan mengurusi perniagaannya sebagaimana para pebisnis kaya raya lain di Baghdad.

Adalah Imam Junaid, ia akan menutup kedainya setelah selesai mengajar murid-muridnya. Kemudian beliau balik ke rumah untuk beribadat seperti solat, membaca Al-Quran dan berzikir.

Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Penduduk Baghdad sangat berantusias datang ke masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga kuliahnya dipenuhi para jamaahnya.
Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau ridha dan bersyukur kepada Allah dengan segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai peniaga. Beliau akan membagi-bagikan sebagian dari keuntungan perniagaannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah.

Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Beliau senantiasa merujuk kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah j dalam setiap pengajiannya. Beliau pernah berkata:
"Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang sentiasa mengikuti perjalanan Rasulullah Barang siapa yang tidak menghafal Al-Quran, tidak menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan
ikutan dalam bidang tasawuf ."

Memiliki Beberapa Kelebihan dan Karamah

Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah. Antaranya ialah
berpengaruh kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya di masjid, Bukan saja dihadiri oleh orang-orang biasa, bahkan semua golongan meminati kuliah yang disampaikan olehnya.

Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik

Setiap insan yang ingin mencapai keridhaan Allah selalu menerima ujian dan cobaan. Imam Junaid menerima ujian dari beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan imej Imam Junaid musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid . Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.
Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu yang dapat memalukan Imam Junaid .

Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk memikat Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk.
Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidak mengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan Allah agar terhindar dari godaan wanita itu. Beliau tidak suka ibadahnya diganggu oleh siapapun. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah LailahailAllah. Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati. Khalifah yang mendapat tahu kematian wanita itu telah memarahi Imam Junaid karena menganggapnya sebagai suatu tindak pidana. Kemudian khalifah memanggil Imam Junaiduntuk mengklarifikasi kejadian tersebut . "Mengapa engkau telah membunuh wanita ini?" tanya khalifah. "Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan
yang telah kami lakukan selama 40 tahun," jawab Imam Junaid.

Wafatnya

Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi As-Syibli, seorang dari muridnya.
Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya dan berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata.

Pada masa al-Junaid karya-karya tasawuf belum terpaparkan sampai dasar-dasarnya. Bahkan mayoritas orang memiliki sikap antipati terhadap tasawuf, Sebagian kalangan menganggap al-Junaid adalah seorang sufi ateis dan zindik. Karena itu, al-Junaid dan para sufi lainnya pada masa itu belum berani secara terang-terangan dalam mengadakan kajian tasawuf.

Dr.Ali Hasan Abdul Qadir, editor rasail al-Junaid, memaparkan alas an-alasan mengenai sikap al-Junaid yang merahasiakan pemikirannya tentang tasawuf kepada khalayak ramai. Pertama, pandangan al-Junaid dianggap menyimpang dari kesepakatan kaum rasional. Kedua, pemikiran beliau tidak mendapat respon dari masyarakat luas, sampai-sampai beliau secara sembunyi-sembunyi mengadakan kajian tasawuf. Ketiga,ungkapan-ungkapan al-Junaid tidak mudah atau sulit untuk difahami oleh sebagian besar orang, sampai Ibnu arabi pun termasuk di dalamnya.

Al-Junaid – menurut para sufi- , sebagaimana yang dipaparkan al-Subki , merupakan pemuka kelompok tasawuf, penghulu para golongannya, dan guru para sufi.

Risalah-risalah al-junaid merupakan sekumpulan surat-surat al-junaid yang beliau layangkan kepada para sahabatnya. Membaca dan mengkaji risalah ini mengantarkan kita untuk memahami pandangan-pandangan beliau tentang tasawuf. Di samping itu kita dapat mengetahui keutamaan beliau, serta menguak sisi-sisi pemikirannya yang belum terjamah dan tersibak oleh kita.

Pada pembukaan kajian ini, Dr.K.H Lukman Hakim MA, menjelaskan bahwa, risalah-risalah al-Junaid memang ditujukan kepada para sahabatnya, namun sangat disayangkan ada beberapa risalah yang tidak diketahui nama sahabat beliau, diantaranya adalah risalah pertama dalam kumpulan-kumpulan tersebut.

Al-Junaid memiliki beberapa murid yang kelak menjadi sufi-sufi terkemuka. Sebut saja al-Hallaj, seorang sufi controversial yang memprakarsai jargon “ana al-Haq”,. Diantaranya lagi Al-Syibli dan masih banyak yang lainnya. Bahkan, menurut Dr.Lukman Hakim “mayoritas thariqah yang ada saat ini memiliki jalur dengan al-Junaid. Termasuk abdul Wahab al-Sya’rani.”tandas beliau.

Risalah pertama al-Junaid dilayangkan kepada salah seorang sahabatnya yang juga termasuk sufi agung (nama sufi ini tidak terdeteksi) yang sedang mengalami proses kesufian yang luar biasa. Hal ini bisa dilihat dari tutur bahasa yang diungkapkan al-Junaid dalam surat itu.

Dalam kata pembuka surat itu, al-Junaid mengungkapkan dengan bahasa yang sangat indah. “ Semoga Allah yang maha agung menjernihkanmu dengan keindahan yang layak bagimu” tulis al-Junaid. Kata-kata indah nan memikat itu dijabarkan oleh Dr.Lukman Hakim dengan sebuah kesimpulan, pertama, Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya. Hal ini harus kita yakini agar kita tidak pernah memprotes takdir-Nya. Kedua, hilangkan kebencian terhadap sesame manusia, karena agar kita bisa tenang dalam menjalankan ibadah kepada-Nya.

Dalam terminology tasawuf ada dua term yang bersifat fundamental. Yaitu, talwin dan tamkin. Talwin adalah keadaan seorang hamba yang jiwanya belum mandiri. Sedangkan tamkin adalah kebalikannya, yakni keadaan seorang hamba yang jiwanya telah mandiri.

Pada bait selanjutnya al-junaid menyatakan kepada sahabatnya, “Dimanakah engkau berada??, sementara engkau telah menikmati seluruhnya??, Saat ini engkau adalah seorang penanya sekaligus penjawab”!. Kalimat ini al-Junaid tunjukkan untuk menghilangkan sebuah keraguan yang sedang menyelimuti rekannya.
Pada akhir suratnya al-Junaid menuliskan sebuah do’a kepada sahabatnya sebagai sebuah kalam penutup. Hal ini, menurut Pak Lukman, sebagai sebuah bentuk kasih sayang al-Junaid terhadap rekannya itu. Sekalipun do’a tersebut hanya terdapat dalam sebuah surat namun hal itu dinilai sesuatu yang memiliki nilai yang sangat tinggi serta membekas terhadap sang pembaca.

Epilog

Demikianlah, sebuah tulisan yang bisa kami sarikan dari kajian pembuka Kitab Rasail al-Junaid. Ada beberapa poin penting yang bisa kita tarik sebagai sebuah kesimpulan tulisan sederhana ini, pertama, kita sebagai umat muslim harus lebih giat lagi untuk mengkaji sufi-sufi agung. Karena, kajian yang dihasilkan oleh para orientalis harus kita sikapi dengan arif, selektif dan kritis. Kita tidak boleh bersikap apriori dengan kajian yang telah dilakukan oleh orientalis. Karena itu kita harus mengkajinya langsung. Kedua, sejatinya kontroversi terkait posisi al-Junaid sebagai penganut faham wahdatul wujud atau bukan masih diperdebatkan oleh para sarjana, baik dari kalangan islam sendiri ataupun sarjana-sarjana orientalis. Ketiga, risalah al-Junaid yang beliau tujukan kepada sahabatnya mengindikasikan perhatian seorang al-Junaid terhadap rekannya yang sedang mengalami proses kesufian yang agung.

WalLahu A’lam bi Al-Shawab

30 Juli 2009

Lebih dekat mengenal Al-Harits al-Muhasibi



Lebih dekat mengenal Al-Harits al-Muhasibi

“Akhlak yang baik adalah amal yang paling berat timbangannya pada hari kiamat.” Al-Hadits

“Al-Harits adalah orang pertama yang mengkaji tentang penyakit hati, rusaknya amal, dan tidak diterimanya ibadah (karena kecacatan). Penjelasannya yang sangat indah menggambarkan kepribadiannya” Al-Ghazali
“Ia adalah orang terpandai dijamannya sekaligus menjadi guru kaum esoterik dan eksoterik” Al-Subki

Al-Harits al-Muhasibi adalah seorang sufi kenamaan yang namanya mulai mencuat kembali setelah beberapa sarjana kontemporer meneliti keterpengaruhan al-Ghazali atas karya-karya al-Harits al-Muhasibi.(2) Al-Harits lahir pada pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Sumber otoritatif sepakat bahwa Ia wafat pada tahun 243 H.

Ia bernama lengkap Al-Harits bin asad al-Muhasibi. Ia lahir di Bashrah, salah satu kota di Irak, dan bertempat disana selama beberapa tahun. Kemudian ia pindah ke Baghdad pada usianya yang masih sangat muda.

Kehidupan pribadi al-Harits al-Muhasibi

Kezuhudan al-Harits mulai tercium sedari kecil. Konon bapaknya adalah seorang kaya-raya yang menganut aliran muktazilah (Sebuah madzhab teologi dalam Islam). Bapaknya bukan hanya sebagai penganut aliran muktazilah, bahkan ia merupakan seorang yang gigih mengkampanyekan pemikiran yang dikembangkan oleh muktazilah.Namun, al-Muhasibi ternyata tidak seperti bapaknya, baik dalam masalah teologi maupun dalam sikapnya terhadap harta. Singkat kata, al-Muhasibi boleh dibilang terpisah jauh dari kehidupan sang bapak: ia hidup di bawah panji-panji kebenaran syariat di mana saja dalam kondisi apapun.(3)

Syahdan, suatu ketika ia pernah mencegat ayahnya didekat salah satu pintu masuk kota Baghdad dan berteriak, “ ceraikanlah ibuku, karena engkau berbeda agama dengannya.” Tindakan ini merupakan bukti kuatnya loyalitas al-Harits terhadap Islam dan kebenaran, kendati ia menghadapi tantangan dari ayah dan keluarganya.Bahkan, ia tidak mengambil harta warisan yang begitu melimpah (sekitar 70 ribu dirham) saat ayahnya wafat, padahal ia sangat membutuhkan harta untuk menjaga dirinya dari bahaya kelaparan.Tidaklah janggal hal tersebut ia lakukan karena kezuhudannya.

Al-Junaid al-Baghdadi menuturkan: Suatu ketika al-harits datang ke rumah kami dan berkata kepadaku, “ Mari kita pergi ke padang pasir!” Aku (al-Junaid) menjawab, “Kamu ingin mengajakku keluar dari keterasinganku dan ketentamanku menuju jalanan, marabahaya dan melihat berbagai keinginan yang hina?”.Ia (al-Harits) berkata, keluarlah bersamaku dan janganlah khawatir sedikitpun. Lantas aku pun menuruti ajakannya. Dan benar, jalan yang kami lalui terlihat sepi dan kami tidak melihat sesuatupun yang tidak kami sukai. Kemudian kami singgah disuatu tempat. Ia berkata kepadaku, “ Bertanyalah sesuatu kepadaku!”.Aku pun menjawab, Aku tidak memiliki pertanyaan yang akan aku ajukan kepadamu. Ia berkata lagi, “ Tanyalah kepadaku tentang apa yang terjdai di dalam dirimu”. Kemudian aku ajukan kepadanya sejumlah pertanyaan. Diapun menjawabnya saat itu juga. Setelah itu, kami kembali ke rumah dan ia menulisnya menjadi beberapa buah buku.

Dari kisah di atas bisa disimpulkan bahwa al-Harits bukanlah seorang sufi yang takut akan menjalani sebuah perjalanan, marabahaya atau bahkan melihat berbagai keinginan (nafsu duniawi). Karena ia bias mengekangnya.(4)

Bukti lain yang mengukuhkan sifat ketulusan rasa percayanya terhadap kacamata fitrah adalah bahwa ia merupakan teladan bagi para pemuda dalam hal kebebasan berfikir. Kebebasan berfikir yang diusung al-Harits tercermin dalam dua realitas kehidupan ilmiahnya berikut ini:

Pertama, ia belum mencapai usia dewasa ketika akal pikirannya tergerak untuk menimba ilmu pengetahuan dan menghadapi berbagai paham pemikiran dengan seluruh alirannya yang berkembang pada masa itu. Bahkan ia mampu mengkaji, memverifikasi, dan memilah-milah berbagai aliran pemikiran tersebut dengan cermat dan jeli tanpa terpengaruh kecuali dari hasil pemikiran pribadinya.Ia tidak terpengaruh oleh perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para fukaha, serta pertentangan antara teori dan praktek yang berkembang di kalangan para juru nasihat, ahli ibadah, kaum zuhud, dan para guru.
Kedua, aliran madzhab fikihnya tidak terikat oleh madzhab apapun. Ia tidak membeo terhadap Imam Madzhab, karena ia telah sampai pada tahapan mujtahid mutlak, walaupun as-Subki sempat menulis biografinya dalam kitab Thabaqat al-Syafi’iyyah. Sebagaimana yang dituturkan oleh Dr.Abdul Halim Mahmud dalam mengurai pendapat al-Haris pada pembahasan wudlu dalam kitabnya al-Harits yang berjudul Fahm al-Shalat.(5)

Meluruskan Asumsi pertikaian Imam Ahmad bin Hanbal dengan al-Harits
Beberapa kalangan ada yang mendramatisir perbedaan pendapat antara al-Harits dengan Imam Ahmad. Oleh karena itu kami mencoba meluruskan asumsi tersebut di atas. Perbedaan yang terjadi antara dua Imam tersebut juga direkam oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya yang bertitel Tarikh Baghdad . Menurut al-Khatib, Imam Ahmad tidak sepakat dengan pendapat-pendapat al-Muhasibi dalam masalah teologi.(6)

Adalah Abu Hamid al-Ghazali yang memaparkan perdebatan antara Imam Ahmad dan Al-Harits sembari mengurai akar permasalahannya sekaligus mementahkan tesis-tesis kalangan yang mendramatisir perbedaan antara dua Imam tersebut. Di dalam autobiografinya (munqid min al-Dhalal, al-Ghazali menyatakan, Imam Ahmad hanya tidak sepakat dengan cara al-Harits dalam menulis buku-buku yang menolak dan megkritik muktazilah. Al-Harits menjawab, ‘mengkritik dan menolak ahli bid’ah adalah wajib hukumnya’. Imam Ahmad berkata, ‘memang benar, akan tetapi sebelum kamu kritik, gambarkan serta jelaskan terlebih dahulu kesesatan mereka baru kemudian kamu kritik’. Apa yang dikatakan Imam Ahmad benar. Namun, hal itu (meneliti dan menjelaskan kesesatan) dilakukan pada saat kesesatannya belum masyhur (terungkap oleh masyarakat awam). Sedangkan manakala kesesatannya telah masyhur, maka mengkritiknya adalah wajib hukumnya. Dan mengkritik tidak mungkin dilakukan sebelum memaparkan kesesatannya terlebih dahulu.(7)

Yang perlu digaris bawahi adalah perdebatan kedua imam, sebagaimana yang dipaparkan oleh al-Ghazali hanya berkutat pada permasalahan metode mengkritik kaum muktazilah, dan tentunya hal itu bukan perdebatan yang prinsip.
Wallahu A'lam
(1) Hadis ini dikutip oleh al-Muhasibi lengkap dengan sanadnya dalam Thabaqah al-Sufiyah.
(2)Mengenai keterpengaruhan al-Ghazali terhadap al-harits bisa dibaca karya2 sarjana kontemporer seperti al-Jabiri, atau karya Prof.Dr.Kautsar Azhari Noer dalam tulisannya di jurnal paramadina tahun 2009. Penulis juga sedang mencoba mempelajari hal ini….Ya Allah smg aq mampu
(3)Abdul Qadir Ahmad Atha, Ta’liqat ‘ala mu’atabah al-Nafs. (Kairo-Dar-I’tisham) mengenai tahun tepat kelahirannya para sejarawan berbeda pendapat. Bandingkan dengan Abdul Halim Mahmud, Muqaddimah Al-Ri’ayah li Huquqillah (kairo-Dar-Ma’arif) h.6
(4)Abdul Halim Mahmud, Ibid
(5)Abdul Qadir Ahmad Atha,Ta’liqat Mu’atabah al-Nafs
(6)Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad ,vol 8 h.114
(7)Abu Hamid al-Ghazali, Munqid min al-Dhalal, (Beirut-Dar andalus) cet 7 h.57

28 Maret 2009

Genealogi Maqashid Syari’ah dan urgensinya dalam Ijtihad

Oleh: MUHAMMAD IDRIS MAS’UDI*

“Tidak ada yang menyangkal bahwa syari’at yang di bawa oleh para Nabi bertujuan untuk kemaslahatan manusia” Imam al-Qurthubi

“ Semua umat manusia sepakat bahwa pembuat syari’at (Allah) dalam membuat ketentuan syari’at sangat mempertimbangkan kemaslahatan manusia ” Imam al-Syathibi

“ Dasar pembuatan hukum adalah kemaslahatan manusia, setiap masalah yang tidak mengandung cita kemaslahatan bahkan cenderung merusak kemaslahatan, bukanlah sebuah syari’at ” Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

“ Asumsi yang mengatakan bahwa hukum-hukum syariat tidak mencakup nilai kemaslahatan adalah sebuah asumsi keliru ” Syeikh WaliyuLlah Al-Dahlawi

Abstraksi
Pengkajian maqashid Syari’ah dalam beberapa tahun terakhir mengalami kemajuan yang sangat pesat, hal ini bisa dilihat dari kajian-kajian maqashid syari’ah dalam forum-forum diskusi, artikel-artikel lepas bahkan skripsi, tesis dan disertasi.
Tulisan di bawah ini hendak mengetengahkan seputar kajian maqashid syari’ah dan mencoba menelusuri akar genealogis maqashid sembari sedikit mengurai urgensi maqashid syari’ah sebagai amunisi ijtihad dalam mengatasi problem-problem kekinian dan ke-Indonesia-an.


Definisi Maqhasid Syari’ah

Maqhasid adalah bentuk plural dari kata maqshid yang dalam hal ini berarti makna atau tujuan syariat. Sedangkan syari’at adalah sesuatu ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah swt terhadap hamba-Nya agar dengan tuntunan syari’at hamba-Nya mendapatkan petunjuk, atau dengan ungkapan lain syari’at adalah suatu ketentuan hukum yang terangkum dalam al-Qur’an dan al-Hadis.

Pendekatan maqhasid dalam kajian ushul fiqh sangat dibutuhkan oleh para pakar ijtihad (baca:mujtahid), maqashid menjadi salah satu piranti bagi mujtahid dalam memecahkan sebuah problematika, disisi lain pendekatan maqhasid diharapkan mampu mencairkan (mendamaikan) dua kubu pemikiran islam yang sama-sama ekstrim, yakni kelompok liberalis dan fundeamentalis, karena pendekatan maqhasid diharapkan menjadi metode pendekatan yang dapat diterima oleh semua golongan, pendekatan maqhasid tidak sama dengan hermeneutika, karena pendekatan maqhasid memiliki akar yang sangat kuat dalam tradisi pemikiran Islam.

Genealogi Maqhasid syari’ah

Secara geneologis rancang bangun pemikiran maqhasid bukanlah temuan baru, maqhasid bukanlah hasil capaian para sarjana kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik, kendatipun term maqashid belum ditemukan dalam kitab-kitab ‘anggitan’ para sarjana klasik, namun hal itu sudah “terangkum dan tercecer” dalam pembahasan tentang qiyas.

Al-Hakim al-Tirmidzi

Dr.Ahmad Raysuni (guru besar ushul fiqh Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko) mengurai asal-usul dan sejarah perkembangan maqhasid syari’ah. Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Tirmidzi yang populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi (W. akhir abad ke-3 H) adalah orang pertama yang mempergunakan kata maqhasid dalam karyanya yang berjudul al-Shalat wa Maqhasiduha, dalam kitab itu al-Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari tata cara shalat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir dan seterusnya.

Al-Qaffal dan Abu Ja’far

Setelah al-Hakim menggulirkan ide genialnya tentang hikmah-hikmah shalat, kemudian muncullah Abu Bakar al-Qaffal (W.365), beliau telah menulis sebuah kitab berjudul Mahasin al-Syariah, segala puji hanya milik Allah, kitab ini sudah dicetak beberapa kali, bahkan menurut Dr. Raysuni manuskrip kitab ini ada di Turki dan Maroko. Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari ulama sekaliber Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Abu Bakar Ibnu ‘Arabi. Keduanya memuji karya al-Qaffal, terutama Ibnu Qayyim yang merasa patut untuk berterima kasih kepada al-Qaffal yang telah ‘menyudahi’ tesis-tesis muktazilah tentang baik-buruk.

Selain al-Qaffal, ada ulama syi’ah yang juga disebut sebagai “ulama maqhasidi”, yakni Abu Ja’far Muhammad Bin ‘Aly (W.381 H), kitab terpenting beliau yang membahas isu-isu maqashid adalah kitab yang bertitel “Ilal al-Syara’i”, kitab berhaluan syiah ini mejelaskan tentang ‘illat-‘illat hukum madzhab syi’ah. Pada era ini juga ada ulama maqhasidi selain Abu Ja’far, Abu Hasan al-Amiri (W.381), beliau adalah filsuf yang juga intens dalam mengkaji maqashid. Karyanya yang mengupas maqashid syari’ah terekam dalam kitab “al-I’lam bi Manaqib al-Islam” , salah satu isu terpenting dalam kitab itu adalah tentang ‘daruriyat khoms’ yang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri.

Al-Juwayni dan al-Ghazali

Gagasan yang dicetuskan al-Amiri mengilhami Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwayni (W.478 H) - guru dari hujjatul Islam Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali (W.505H) - untuk memetakan maqashid syariah menjadi kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial, setiap satu dari kedua prinsip ini dipetakan lagi menjadi lima prinsip, yakni Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs, Hifdz al-mal, Hifdz al-Nasl, Hifdz’aql.
Pemetaan maqashid yang dilakukan al-Juwayni tentang kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial yang terangkum dalam kitabnya (al-Burhan fi Ushul Ahkam) diteruskan oleh muridnya, al-Ghazali, di tangan al-Ghazali kajian maqhasid memiliki cakupan lebih luas , al-Ghazali memetakan maqhasid syariah menjadi tiga:

1. Dlaruriyah (Kebutuhan primer)
2. Hajiyah (Kebutuhan sekunder)
3. Tahsiniyyah (Kebutuhan suplemen)

Dari ketiga pemetaan di atas, al-Ghazali membagi lima kategori:
1. Hifdz al-Din, melindungi agama, yang terimplementasikan dalam kebebasan memeluk agama dan kewajiban untuk menghormati agama lain
2. Hifdz al-Nafs, melindungi jiwa, dengan diterapkannya hukum pidana sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa-jiwa manusia.
3. Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dilegalisasikannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.
4. Hifdz al-Aql, melindungi akal, yang diterapkan melalui diharamkankannya khamr, hak untuk mendapatkan pendidikan.
5. Hifdz al-Mal, melindungi harta, hak mendapatkan pekerjaan, disyariatkannya hukum potong tangan bagi pencuri.

Sejatinya, sarjana-sarjana maqashidi (ulama yang intens mengkaji maqashid syariah) pasca al-Juwayni dan pra Syathibi bukan hanya al-Ghazali saja, karena sarjana-sarjana klasik seperti Fakhruddin al-Razi, Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, Izzudin Ibnu Abdissalam, Syihabuddin al-Qarafi, Saefuddin al-Amidi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi sampai ulama kontroversial Najmuddin al-Thufi juga intens dalam mengkaji maqashid syari’ah.

Sekilas tentang Najmuddin al-Thufi

Khusus yang disebut terakhir , belakangan ini pemikirannya menjadi primadona bagi kalangan Muslim liberal, al-Thufi (w.716 H) adalah pakar ushul fiqh yang menurut prof.Dr.Wahbah Zuhayli, sempat bermadzhab syafi’i itu menjadi idola para punggawa muslim liberal seperti Abdul moqshit Ghazali dkk, bahkan kaidah-kaidah ushul fiqh baru yang diwacanakan oleh ‘para pengobral maslahat’ (moqshit dkk,) adalah hasil ‘copy- paste’ dari kaidah-kaidah kontroversial al-Thufi.

Tanqih al-Nushus bi al-Maslahat ( Nash al-Qur’an bisa diamandemen bila bertentangan dengan maslahat) adalah salah satu kaidah ushul yang dicetuskan oleh al-Thufi, kaidah ini hendak menyatakan bahwa nash (al-Qur’an dan al-Hadis) bisa dianulir bila bertentangan dengan maslahat. Kaidah ini oleh al-Thufi hanya diberlakukan dalam konteks muamalat saja, karena menurut al-Thufi, dalam ranah muamalat manusia memiliki otoritas dalam mengamandemen nash dengan maslahat, sebab menurutnya, Allah memberikan kebebasan kepada manusia dalam ranah muamalat, sedangkan dalam ranah ibadah mutlak milik Allah swt.

Wacana yang digulirkan al-Thufi sendiri bukan tanpa kritik, pakar ushul fiqh menghujani kritik terhadap gagasan kontroversial al-Thufi terutama pakar-pakar ushul fiqh kontemporer, diantaranya adalah Dr.Said Ramadhan al-Buthi dan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayli. Bahkan, menurut al-Buthi dalam dlawabith al-Maslahat menyatakan bahwa gagasan al-Thufi cacat secara epistemologis, karena menurut al-Buthi, al-Thufi salah dalam mengambil kesimpulan atas apa yang telah dilakukan oleh sahabat umar dalam memberi grasi terhadap pencuri, al-Thufi menurut Buthi menyimpulkan bahwa tindakan sahabat umar tidak memotong tangan pencuri karena melihat kemaslahatan, dari sini al -Thufi menyatakan bahwa sahabat umar telah menganulir nash potong tangan bagi pencuri. Kesimpulan ini menurut Buthi adalah sebuah kesalahan Thufi dalam memahami teks-teks hadis, sebab sahabat umar sebenarnya bukan menganulir teks hukuman potong tangan, melainkan beliau mengkompromikan beberapa teks hadis, yakni hadis potong tangan bagi pencuri dengan hadis tentang menghindari had karena ada kesamaran-kesamaran, karena pencurian dilakukan pada saat musim paceklik, sehingga termasuk dari bagian kesamaran yang berimplikasi untuk tidak melakukan potong tangan bagi pencuri. Sejatinya, dengan menggunakan argumentasi Buthi dalam mematahkan kaidah Thufi dengan sendirinya kaidah-kaidah yang ditawarkan oleh Muslim liberal juga rapuh dan tidak memiliki pijakan referensial yang jelas.

Abu Ishaq al-Syathibi al-Garnathi

Kemudian pada pertengahan abad ke-7 H, muncullah sarjana brilian, Abu Ishaq al-Syathibi, (W.790H) seorang pakar ushul fiqh bermadzhab maliki yang mencoba mensistematiskan maqhasid syariah dengan menambah porsi kajian maqhasid dalam kitab ushul fiqhnya yang berjudul al-Muwafaqat, dalam kitab yang konon manuskripnya ‘dipungut’ oleh Muhammad Abduh di dataran Tunisia itu menguak ilmu maqhasid dalam satu jilid.

Jika al-Syafi’i dipuji dan dianggap sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh, karena telah membuat satu disiplin ilmu ushul yang pertama kalinya, maka al-Syathibi dianggap sebagai bapak maqashid syari’ah, karena beliau telah membuat ilmu maqashid syari’ah sebagai bagian dari ilmu ushul fiqh.

Pujian terhadap al-syathibi tidaklah berlebihan, karena, pertama kendatipun pakar ushul fiqh sebelumnya telah membuat kajian tentang maqashid syariah, namun pembahasannya masih ‘tercecer’ dalam bab qiyas. Kedua, pengakuan dari syaikh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur –(W.1973 M)seorang ulama kontemporer yang mencoba mengindependensikan ilmu maqashid syariah sebagai ilmu yang terlepas dari ushul fiqh- beliau menyatakan metode yang ia tempuh menapaktilasi metodologi al-Syathibi. Ketiga, al-Syathibi telah mengukuhkan kajian maqashid syari’ah yang sebelumnya mengalami kemandegan.

Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur

Setelah melakukan penelusuran secara genealogis tentang munculnya kajian maqashid dengan melacak akar sejarahnya, sampailah kita untuk mengupas seorang pakar ushul fiqh kontemporer yang sangat berkompeten dalam kajian maqashid syari’ah, adalah Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal dari Tunisia.

Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh, beliau dijuluki sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi dijuluki ‘guru pertama’. Beliau telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan pembahasan maqashid ke dalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang di dalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga, maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan dan kesaksian dan lain-lain.

Urgensi maqashid syariah dalam ranah ijtihad

Sangat tidak bijak jika dalam melakukan ijtihad hanya menyingkap teks secara literal dan tidak menghiraukan maqashidnya, bahkan sangatlah naif kalau mengabaikannya begitu saja, memang benar kajian sintaksis-grammar sangat dibutuhkan guna menguak teks-teks suci. Namun karena memahami teks suci tidaklah cukup untuk berhenti pada kajian lafad. Maka memahami maqashid syariah adalah sebuah keniscayaan.

Metodologi menguak maqashid

Metode yang pertama kali harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyibak maqashid adalah metode penelitian (Istiqra’) terhadap hukum-hukum yang telah diketahui alasan-alasan (baca; Illat) hukumnya. Karena dengan telah diketahuinya illat hukum, maka akan dengan mudah memahami maqashidnya. Kedua, memahami dalil-dalil al-Qur’an dan al-hadis yang jelas (wadih), yang mana dengan dalil itu dapat memberi keyakinan akan maksud sebuah teks. Ketiga, Mencermati hadis-hadis mutawatir, sebagaimana memahami mutawatir yang dihasilkan dengan menyaksikan sesuatu yang dilakukan oleh para sahabat dari Nabi, dari sini kita bisa mengambil sebuah pengetahuan pasti (ma’lum bi daruri).

Maqashid syariah juga bisa diketahui melalui beberapa pemahaman:

1. Melalui perintah dan larangan yang jelas, karena setiap perintah memiliki implikasi bahwa terlaksanya perintah tersebut merupakan sebuah maksud syariat.
2. Melalui pemahaman illat-illat perintah dan larangan, sebagaimana disyariatkannya nikah karena kemaslahatan keturunan, disyariatkannya jual beli karena pemanfaatan barang (mabi’)
3. Pembuat syariat (syari’) dalam menetapkan syariat memiliki maksud utama dan maksud yang tidak utama, diantaranya ada yang secara eksplisit tertera maksudnya dan sebagian lain tidak.

Setelah mengupas akar genealogis maqashid syari’ah dan menyinggung urgensinya dalam ijtihad, setidaknya dapat kita simpulkan, pertama, akar formulasi-formulasi maqashid yang telah dikerangkakan oleh para pakar maqashidi memiliki pijakan referensial yang kokoh, kita sebagai generasi penerus harus mengapresiasi dan mengembangkannya, karena kajian maqashidi dalam konteks keindonesiaan masih sangat minim. Kedua, membentuk komunitas khusus untuk mengkaji secara intens mengenai maqashid syari’ah, hal ini diharapakan agar tumbuh intelektual-intelektual yang mumpuni dalam bidang maqashid.

WalLahu a’lam.
* Penulis adalah Mahasiswa fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri Jakarta.

















05 Februari 2009

Golput dalam konteks pilpres dan pileg (pemilihan anggota legislatif)*

Oleh: Muhammad Idris Mas’udi**

Dalam wawasan klasik wacana nashbul imam (pengangkatan pemimpin) sudah sangat ramai diperbincangkan, diantara tema yang menarik diperdebatkan kala itu adalah seputar apakah pengangkatan terhadap seorang pemimpin apakah merupakan kewajiban (fardlu ) atau kesunnahan.

Dalam karyanya tafsir Bahr al-Muhith, Atsir al-Din Bin abi al-Hayyan merekam perdebatan sengit tentang hal di atas, beliau mengemukakan ada tiga pendapat, pertama, pendapat ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengatakan bahwa pengangkatan seorang imam adalah kewajiban, kedua, pendapat kaum khawarij, mereka menyatakan bahwa pengangkatan imam bukanlah suatu kewajiban, Ketiga, pendapat kaum ‘Ibadiyah mengatakan sunnah. {1}

Kaum teolog (Mutakallimun) dalam masalah ini tampaknya sepakat dengan pendapat pertama, untuk menguatkan argumennya mereka mendapuk piranti metodologi kaidah fiqh yang cukup populer, yakni ma la yatimmu al-Wajib Illa bihi fahuwa wajib (sesuatu yang menjadi penyempurna kewajiban adalah wajib hukumnya), Secara ilustratif mereka menggambarkan kewajiban penegakan hukuman Had, bahwa hukum had adalah wajib untuk ditegakkan, sementara umat Islam sepakat bahwa hal itu (penegakan hukum had) tidak bisa direalisasikan kecuali oleh Imam, kesimpulannya mengangkat Imam adalah wajib, karena ia menjadi penopang terlaksananya kewajiban (hukuman had). {2}

Al-Mawardi dalam karya impresifnya Al-Ahkam Sulthaniyyah, menegaskan bahwa kewajiban memimpin negara adalah kewajiban kolektif (Fard kifayah) sebagaimana jihad dan mencari Ilmu, manakala salah satu dari rakyat yang berkompeten dalam kepemimpinan telah terpilih menjadi pemimpin gugurlah kewajiban rakyat atas kepemimpinan, kemudian lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa bila belum ada yang tepilih maka terdapat dua golongan yang memiliki kaitan akan perihal kepemimpinan, pertama kelompok yang menjadi wakil rakyat yang bertugas untuk mengangkat seorang pemimpin (ahlul halli wal aqdi), mereka berhak untuk memilih pemimpin, kedua rakyat yang berstatus yang dipilih – para calon yang memenuhi kriteria menjadi pemimpin - salah satu diantara mereka mereka berhak untuk menjadi pemimpin. {3}

Permasalahan di atas akan semakin menarik untuk diperbincangkan ketika dibenturkan dengan realitas kekinian dan keindonesiaan, yakni tentang pemilihan umum yang akan digelar bulan April mendatang, terutama berkaitan dengan isu golput. Tulisan ini hendak mengetengahkan isu seputar golput terkait dengan eksistensi demokrasi ala indonesia.


Proses pemilihan pemimpin dalam Islam
Ada berbagai cara dalam konsep pemilihan kepemimpinan, dalam kitab adwa’ul bayan fi tafsiril Qur’an bil-Qur’an, Syaikh Muhammad Amin al-Syanqithi menjelaskan bahwa dalam Islam terdapat empat varian proses pemilihan seorang pemimpin;

1. Penunjukan langsung oleh baginda nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang terjadi dalam kepemimpinan sahabat Abu Bakar, Sebagian Ulama berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakar adalah atas penunjukkan Nabi Muhammad, mereka mendasarkan pendapatnya dengan suatu kejadian dimana nabi Muhammad menyuruh sahabat Abu Bakar untuk menjadi Imam Shalat, hal ini merupakan Isyarah (petunjuk) yang jelas akan penunjukan nabi terhadap kepemimpinan Abu Bakar kelak ketika beliau Nabi wafat.

2. Kesepakatan orang-orang yang berkompeten dalam hal pemilihan pemimpin yang bertugas sebagai pembuat kebijakan (ahlul halli wal aqdi), sebagian ulama berpendapat bahwa kepemimpinan sahabat abu Bakar bukan berdasarkan penunjukan langsung oleh baginda Nabi Muhammad saw, melainkan atas kesepakan kaum Muhajirin dan Anshar setelah terjadinya polemik atas siapakah pemegang tampuk kepemimpinan pasca wafatnya nabi Muhammad saw.

3. Pengangkatan atau penunjukkan langsung oleh pemimpin sebelumnya, dalam sejarah umat Islam, contoh varian ini terjadi pada kepemimpinan sahabat ‘Umar yang merupakan pengangkatan langsung oleh khalifah sebelumnya (sahabat Abu bakar), senada dengan varian ini adalah pembentukan dewan syura yang terdiri dari enam sahabat oleh sahabat Umar untuk pemilihan pemimpin setelahnya.

4. Sebagian ulama berpendapat bahwa tampuk kepemimpinan juga bisa diperoleh melalui pembaitan seseorang, sebagaimana yang terjadi pada pembaitan Abu Bakar terhadap ‘Umar. {4}

Dengan berbagai varian yang ditawarkan oleh Syaikh Muhammad Amin, kemudian pertanyaannya adalah sistem pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung di negara Indonesia apakah sesuai dengan hal di atas???
Diakui atau tidak, bila ditinjau dari satu sisi, sistem pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan oleh negara kita tercinta mulai tahun 2004 tidaklah sejalan dengan aturan syariat, tersebab pemilihan presiden secara langsung yang sering disebut sebagai pemilihan demokratis ini melibatkan seluruh elemen rakyat untuk menggunakan hak suaranya, padahal berapa juta rakyat yang tidak memiliki kompetensi dalam memilih calon presiden, belum lagi banyaknya para calon yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan dalam perihal kepemimpinan. Sehingga wajar bila kasus ‘money politik’ begitu merajalela saat menjelang pemilihan presiden. Karena calon yang ‘sering memberi’ akan mendapat perhatian dari masyarakat.

Sedangkan prinsip demokrasi atau Syura yang senafas dengan syariat hanya melibatkan para pemilih yang berkompeten saja dalam hal ini sering disebut dengan ahl al-Halli wa al-Aqdi {5}, hemat penulis amatlah wajar bila Islam hanya memperkenankan ahl-Halli Wa al-Aqdi dalam proses pemilihan dengan tanpa melibatkan seluruh rakyat, karena mereka lebih tahu siapa yang berhak memegang tahta kepemimpinan.

Namun bila melihat faktor-faktor lain, seperti hukum pengangkatan pemimpin adalah fardlu kifayah, juga eksistensi presiden di Indonesia adalah dloruri bi asy-Syaukah (kekuasaan de fakto), dimana kekuasaan akan hilang ketika masa jabatan berakhir. Maka mau tidak mau pemilihan presiden secara langsung harus dilakukan dan rakyat indonesia wajib memilih calon presiden dan wakilnya.

Golput atau golongan putih adalah sebuah istilah yang disematkan kepada sebuah golongan yang tidak mau menggunakan hak pilih dalam sebuah pemilihan, baik pemilihan kepala desa, bupati, gubernur atau bahkan pemilihan presiden. Motif yang melatarbelakangi golongan ini untuk tidak menggunakan hak pilihnya sangat beragam, adakalanya karena mereka bosan dan enggan untuk memilih para calon pemimpin yang secara faktual-empirik tidak lagi memperhatikan nasib rakyatnya, bahkan sebagian lain mengomentari para anggota dewan dengan ungkapan “jangankan untuk menyalurkan aspirasi rakyat, wong sidang aja kerap bolos”. Dan masih banyak lagi alasan-alasan golongan ini untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

Untuk menyikapi masalah golput ini kita harus bersikap arif, dengan melihat beberapa aspek yang berkaitan dengannya, sebagaimana kita ketahui pemilihan pemimpin adalah fardlu kifayah, dan dalam Islam sendiri proses pemilihan presiden hanya terkhusus bagi orang-orang yang memiliki kompetensi, sehingga permasalahan golput ini harus dipilah dengan melihat pelaku, dan ekses yang ditimbulkan darinya. Faktor lain yang amat erat kaitannya dengan golput adalah pemerintah memberikan hak kepada rakyatnya untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya, sehingga secara hukum kenegaraan rakyat bebas untuk memilih atau tidak memilih (abstain atau golput) dalam pemilihan umum. Dengan segala keterbatasan pergulatan intelektual penulis, permasalahan golput di atas secara sederhana dapat disimpulkan, bahwa hak pilih bagi orang-orang yang berkompeten dalam pemilihan seorang pemimpin harus benar-benar digunakan dalam rangka penegakan hukum fardu kifayah yang dalam hal ini adalah pengangkatan seorang kepala negara, atau anggota dewan, tersebab merekalah yang sebenarnya memiliki kewajiban menentukan pemimpin. Sedangkan untuk para rakyat yang tidak berkompeten dalam masalah memilih pemimpin (bukan golongan Ahl al-Halli Wa al-Aqdi) diperbolehkan untuk golput dengan catatan tidak ada kekhawatiran akan terbengkalainya pesta demokrasi, serta gagalnya calon terbaik menjadi kepala negara.
WaLlahu A’lam

FOOTNOTE


** Adalah Mahasiswa semester 2 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
{1} Atsir al-Din Bin abi al-Hayyan , Bahr al-Muhith, Vol 1 hal 496, Maktabah Syamelah

{2} Dhohir al-Din Bin Abi Ja’far, Tafsir al-Nasayburi, Vol 3 hal 27, Maktabah Syamelah, bandingkan dengan Fakhr al-Razi Tafsir Mafatih al-Ghaib Vol 6 hal 57

{3} Al-Mawardi, Al-Ahkam Sultaniyyah, Vol I hal 40

{4} Syaikh Muhammad Amin al-Syanqithi, Adwa’ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an, vol I hal 30
{5} Maushu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Vol XXXVII, hal 6-7