width:

30 Juli 2009

Lebih dekat mengenal Al-Harits al-Muhasibi



Lebih dekat mengenal Al-Harits al-Muhasibi

“Akhlak yang baik adalah amal yang paling berat timbangannya pada hari kiamat.” Al-Hadits

“Al-Harits adalah orang pertama yang mengkaji tentang penyakit hati, rusaknya amal, dan tidak diterimanya ibadah (karena kecacatan). Penjelasannya yang sangat indah menggambarkan kepribadiannya” Al-Ghazali
“Ia adalah orang terpandai dijamannya sekaligus menjadi guru kaum esoterik dan eksoterik” Al-Subki

Al-Harits al-Muhasibi adalah seorang sufi kenamaan yang namanya mulai mencuat kembali setelah beberapa sarjana kontemporer meneliti keterpengaruhan al-Ghazali atas karya-karya al-Harits al-Muhasibi.(2) Al-Harits lahir pada pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Sumber otoritatif sepakat bahwa Ia wafat pada tahun 243 H.

Ia bernama lengkap Al-Harits bin asad al-Muhasibi. Ia lahir di Bashrah, salah satu kota di Irak, dan bertempat disana selama beberapa tahun. Kemudian ia pindah ke Baghdad pada usianya yang masih sangat muda.

Kehidupan pribadi al-Harits al-Muhasibi

Kezuhudan al-Harits mulai tercium sedari kecil. Konon bapaknya adalah seorang kaya-raya yang menganut aliran muktazilah (Sebuah madzhab teologi dalam Islam). Bapaknya bukan hanya sebagai penganut aliran muktazilah, bahkan ia merupakan seorang yang gigih mengkampanyekan pemikiran yang dikembangkan oleh muktazilah.Namun, al-Muhasibi ternyata tidak seperti bapaknya, baik dalam masalah teologi maupun dalam sikapnya terhadap harta. Singkat kata, al-Muhasibi boleh dibilang terpisah jauh dari kehidupan sang bapak: ia hidup di bawah panji-panji kebenaran syariat di mana saja dalam kondisi apapun.(3)

Syahdan, suatu ketika ia pernah mencegat ayahnya didekat salah satu pintu masuk kota Baghdad dan berteriak, “ ceraikanlah ibuku, karena engkau berbeda agama dengannya.” Tindakan ini merupakan bukti kuatnya loyalitas al-Harits terhadap Islam dan kebenaran, kendati ia menghadapi tantangan dari ayah dan keluarganya.Bahkan, ia tidak mengambil harta warisan yang begitu melimpah (sekitar 70 ribu dirham) saat ayahnya wafat, padahal ia sangat membutuhkan harta untuk menjaga dirinya dari bahaya kelaparan.Tidaklah janggal hal tersebut ia lakukan karena kezuhudannya.

Al-Junaid al-Baghdadi menuturkan: Suatu ketika al-harits datang ke rumah kami dan berkata kepadaku, “ Mari kita pergi ke padang pasir!” Aku (al-Junaid) menjawab, “Kamu ingin mengajakku keluar dari keterasinganku dan ketentamanku menuju jalanan, marabahaya dan melihat berbagai keinginan yang hina?”.Ia (al-Harits) berkata, keluarlah bersamaku dan janganlah khawatir sedikitpun. Lantas aku pun menuruti ajakannya. Dan benar, jalan yang kami lalui terlihat sepi dan kami tidak melihat sesuatupun yang tidak kami sukai. Kemudian kami singgah disuatu tempat. Ia berkata kepadaku, “ Bertanyalah sesuatu kepadaku!”.Aku pun menjawab, Aku tidak memiliki pertanyaan yang akan aku ajukan kepadamu. Ia berkata lagi, “ Tanyalah kepadaku tentang apa yang terjdai di dalam dirimu”. Kemudian aku ajukan kepadanya sejumlah pertanyaan. Diapun menjawabnya saat itu juga. Setelah itu, kami kembali ke rumah dan ia menulisnya menjadi beberapa buah buku.

Dari kisah di atas bisa disimpulkan bahwa al-Harits bukanlah seorang sufi yang takut akan menjalani sebuah perjalanan, marabahaya atau bahkan melihat berbagai keinginan (nafsu duniawi). Karena ia bias mengekangnya.(4)

Bukti lain yang mengukuhkan sifat ketulusan rasa percayanya terhadap kacamata fitrah adalah bahwa ia merupakan teladan bagi para pemuda dalam hal kebebasan berfikir. Kebebasan berfikir yang diusung al-Harits tercermin dalam dua realitas kehidupan ilmiahnya berikut ini:

Pertama, ia belum mencapai usia dewasa ketika akal pikirannya tergerak untuk menimba ilmu pengetahuan dan menghadapi berbagai paham pemikiran dengan seluruh alirannya yang berkembang pada masa itu. Bahkan ia mampu mengkaji, memverifikasi, dan memilah-milah berbagai aliran pemikiran tersebut dengan cermat dan jeli tanpa terpengaruh kecuali dari hasil pemikiran pribadinya.Ia tidak terpengaruh oleh perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para fukaha, serta pertentangan antara teori dan praktek yang berkembang di kalangan para juru nasihat, ahli ibadah, kaum zuhud, dan para guru.
Kedua, aliran madzhab fikihnya tidak terikat oleh madzhab apapun. Ia tidak membeo terhadap Imam Madzhab, karena ia telah sampai pada tahapan mujtahid mutlak, walaupun as-Subki sempat menulis biografinya dalam kitab Thabaqat al-Syafi’iyyah. Sebagaimana yang dituturkan oleh Dr.Abdul Halim Mahmud dalam mengurai pendapat al-Haris pada pembahasan wudlu dalam kitabnya al-Harits yang berjudul Fahm al-Shalat.(5)

Meluruskan Asumsi pertikaian Imam Ahmad bin Hanbal dengan al-Harits
Beberapa kalangan ada yang mendramatisir perbedaan pendapat antara al-Harits dengan Imam Ahmad. Oleh karena itu kami mencoba meluruskan asumsi tersebut di atas. Perbedaan yang terjadi antara dua Imam tersebut juga direkam oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya yang bertitel Tarikh Baghdad . Menurut al-Khatib, Imam Ahmad tidak sepakat dengan pendapat-pendapat al-Muhasibi dalam masalah teologi.(6)

Adalah Abu Hamid al-Ghazali yang memaparkan perdebatan antara Imam Ahmad dan Al-Harits sembari mengurai akar permasalahannya sekaligus mementahkan tesis-tesis kalangan yang mendramatisir perbedaan antara dua Imam tersebut. Di dalam autobiografinya (munqid min al-Dhalal, al-Ghazali menyatakan, Imam Ahmad hanya tidak sepakat dengan cara al-Harits dalam menulis buku-buku yang menolak dan megkritik muktazilah. Al-Harits menjawab, ‘mengkritik dan menolak ahli bid’ah adalah wajib hukumnya’. Imam Ahmad berkata, ‘memang benar, akan tetapi sebelum kamu kritik, gambarkan serta jelaskan terlebih dahulu kesesatan mereka baru kemudian kamu kritik’. Apa yang dikatakan Imam Ahmad benar. Namun, hal itu (meneliti dan menjelaskan kesesatan) dilakukan pada saat kesesatannya belum masyhur (terungkap oleh masyarakat awam). Sedangkan manakala kesesatannya telah masyhur, maka mengkritiknya adalah wajib hukumnya. Dan mengkritik tidak mungkin dilakukan sebelum memaparkan kesesatannya terlebih dahulu.(7)

Yang perlu digaris bawahi adalah perdebatan kedua imam, sebagaimana yang dipaparkan oleh al-Ghazali hanya berkutat pada permasalahan metode mengkritik kaum muktazilah, dan tentunya hal itu bukan perdebatan yang prinsip.
Wallahu A'lam
(1) Hadis ini dikutip oleh al-Muhasibi lengkap dengan sanadnya dalam Thabaqah al-Sufiyah.
(2)Mengenai keterpengaruhan al-Ghazali terhadap al-harits bisa dibaca karya2 sarjana kontemporer seperti al-Jabiri, atau karya Prof.Dr.Kautsar Azhari Noer dalam tulisannya di jurnal paramadina tahun 2009. Penulis juga sedang mencoba mempelajari hal ini….Ya Allah smg aq mampu
(3)Abdul Qadir Ahmad Atha, Ta’liqat ‘ala mu’atabah al-Nafs. (Kairo-Dar-I’tisham) mengenai tahun tepat kelahirannya para sejarawan berbeda pendapat. Bandingkan dengan Abdul Halim Mahmud, Muqaddimah Al-Ri’ayah li Huquqillah (kairo-Dar-Ma’arif) h.6
(4)Abdul Halim Mahmud, Ibid
(5)Abdul Qadir Ahmad Atha,Ta’liqat Mu’atabah al-Nafs
(6)Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad ,vol 8 h.114
(7)Abu Hamid al-Ghazali, Munqid min al-Dhalal, (Beirut-Dar andalus) cet 7 h.57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kotak saran 'en' kritik