width:

08 Oktober 2008

KRITIK TERHADAP FEMINISME

Oleh : Muhammad Idris*

Wacana Emansipasi wanita dengan mengusung egalitarianisme kembali menyeruak setelah para sarjana-sarjana kontemporer menggulirkan ide-ide feminis di ruang-ruang diskusi ,artikel-artikel media massa baik cetak maupun elektronik.

Artikel di bawah ini mencoba untuk mengkritik wacana-wacana yang digulirkan oleh mereka yang sering disebut dengan “pejuang jender” dengan merunut dan menguak akar feminisme yang berkembang di dunia barat karena menurut hemat penulis para feminis yang membawa isu-isu gender selalu bertolak dari peradaban barat yang mereka kira para wanita di barat memiliki dan merasakan kedamaian dalam kehidupannya.

Para orientalis dan feminis barat sering menyerang konsep wanita dalam islam. Mereka menganggap kedudukan wanita dalam islam lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam keluarga, poligami dan sebagainya. Tak jarang sebagian muslimin sendiri yang begitu yang terpesona dengan dunia barat , tanpa periksa lagi , mengikuti pula pandangan semacam itu , dan kemudian dengan serta merta menyerukan pembaharuan kedudukan wanita dalam islam . Sungguh sangat disayangkan sikap mereka mengkritik habis-habisan terhadap para intelektual-intelektual muslim yang kapasitas keilmuan dan kejujuranya dapat dipertanggungjawabkan.Namun mereka memuji dan meniru para pemikir barat yang kapasitas keilmuan dan kejujuranya masih dipertanyakan.


Di kalangan Umat Islam , Wacana Emansipasi pertama kali di gulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905). Tokoh reformis mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita muslimah untuk mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi,supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang muslimah dalam pembangunan umat.Pandangan yang sama juga dilontarkan oleh Hasan at-Turabi dari Sudan. Menurut beliau,Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah public,termasuk hak dan kebebasan mengemukakan pendapat,ikut pemilu, berdagang, menghadiri sholat jama’ah, ikut ke medan perang dan lain sebagainya. Ulama lain yang kurang lebih memiliki pandangan kurang lebih sama adalah Syekh mahmud syaltut,Sayyid Qutb,Syekh yusuf al-Qardhawi dan jamal al-Badawi.sudah barang tentu para tokoh ini mendasari pendapatnya dengan al-Qur’an dan Hadits.[1]

Lamya al-Faruqi yang lahir , besar dan hidup di dunia barat, tepatnya Amerika Serikat , mengkritik sikap sebagian muslimin dan muslimat yang hanya mengikuti pendapat barat tanpa secara kritis menggali dan memahami ajaran islam secara benar , menurut lamya ,sikap rancu sebagian orang barat terhadap kedudukan wanita dalam islam , terutama terpengaruh di dalam konsep anti-wanita sebagaimana terdapat dalam ajaran dan tradisi yahudi-kristen .Eva yang di dalam Bibel dikisahkan menyebabkan terperosoknya Adam ke dalam pelanggaran terhadap perintah tuhan menjadi preseden pandangan bahwa wanita menyebabkan keruntuhan umat manusia, konsep ini tak terelakkan lebih mempunyai pengaruh yang mendalam kepada barat dalam memandang wanita.[2]

Memang tak bisa dipungkiri,gerakan feminisme di barat merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi masyarakat di sana, terutama yang menyangkut nasib dan peran wanita.salah satu penyebabnya adalah pandangan ‘sebelah mata’ terhadap perempuan (misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) serta citra negatif yang dilekatkan kepada mereka.semua itu bahkan telah mengejewantah dalam tata-nilai masyarakat,kebudayaan,hukum dan politik.

Bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles di zaman pra-kristen,diikuti oleh st. Clement dari Aleksandria,St. Agustinus dan St.Thomas Aquinas pada abad pertengahan , hingga Jhon locke,Rossesau dan Nietzsche di awal abad modern ,citra dan kedudukan perempuan memang tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan budak ( hamba sahaya ) dan anak-anak,dianggap lemah fisik maupun akalnya[3]

Lamya menyatakan , barulah 100 tahun belakangan ini wanita barat memperoleh kedudukan hukum dan ekonomi yang lebih baik , sementara pada segi-segi kehidupan social lainya wanita masih tetap dipandang lebih rendah . karena itulah gerakan feminisme di barat terus berjauang keras menuntut apa yang mereka sebut sebagai persamaan hak antara laki-laki dan wanita . Memang , demikian lamya , konsep dosa asal sebagaimana terdapat dalam dalam yahudi-kristen tidak memandang laki-laki dan wanita sederajat , termasuk di bidang spiritual . karenanya tidak aneh kalau pada akhir abad ke -18 para filosof Kristen terlibat dalam perdebatan apakah wanita mempunyai jiwa atau tidak ? sebab wanita dipercayai tercipta dari tulang rusuk Adam.

‘’Tidak ada satu isyarat apapun di dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa wanita diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang lebih rendah dari laki-laki atau bahwa ia adalah embel-embel yang terbentuk dari tulang rusuk laki-laki’’ tulis Lamya.

Tetapi al-Qur’an menegaskan kepada kita , jelas Lamya lebih lanjut , bahwa laki-laki dan wanita berasal dari Nafs al-Wahidah (dari satu jiwa) .Al-Qur’an membantah cerita-cerita yang ditemukan dalam perjanjian lama yang merendahkan wanita sebagai hamba Allah SWT.,karena tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam hubungan dengan Tuhan. Wanita adalah saudara laki-laki , sederajat dalam nilai , tanggung jawab moral dan etika, diperingatkan dengan ancaman yang sama dan yang akan diberi ganjaran yang sama pula.

Menurut lamya , perbedaan yang digariskan Allah antara kedua kelamin itu ‘’ hanyalah hubungan keduanya satu sama lain dan dengan masyarakat’’ perbedaan ini lebih menyangkut peran dan fungsi alamiah , yang memiliki karakter unik yang dimiliki dari setiap jenis laki-laki dan wanita .berbeda dengan ideologi barat , Islam mempertahankan bahwa setiap jenis ,peran dan fungsi sama-saman berhak mendapatkan kehormatan , karena itu pembagian kerja menurut seksual pada umumnya sangat menguntungan bagi seluruh anggota masyarakat.

Lamya juga meminta perhatian khusus tentang penggunaan kata ‘’qawwâmun’’ dalam ayat yang berbunyi ‘’ Al-Rijâlu Qawwâmûn ‘ala al-Nisâ’’ menurut lamya , kata kerja Qawwama berasal dari kata Qawwâmûn itu tidak lantas kekuasaan despotic laki-laki atas wanita . Sebaliknya ,istilah itu lebih mengacu kepada seseorang yang berdiri ( dari Qâma = berdiri ) un tuk orang lain dalam cara yang protektif dan terhormat . jika kata itu diartikan peran otokratif atau mendominasi dari laki-laki – sebagaimana diartikan sebagai masyarakat – maka banyak kata-kata atau istilah lain yang lebih mengena ,seperti Musyaytirûn atau Muhayminûn dalam al-Qur’an menegaskan sifat supportif ( menunjang) ketimbang mengandung pengertian otoratif atau tiranik.

Dalam kaitan itu , lamya menilai, bahwa bertentangan dengan tujuan gerakan pembebasan wanita di barat , al-Qur’an menyerukan kepada pembentukan suatu masyarakat yangb memberikan kepimimpinan akhir dan peran pengambilan keputusan kepada laki-laki , karena kemampuan fisik, tanggung jawab dan kontribusi ekonominya.

Sebagian orang mengatakan bahwa kepimpinan yang dikhususkan Allah Ta’ala untuk para laki-laki dan menundukkan perempuan kepadanya adalah mengandung sebuah penyelewengan hak perempuan.

Para feminis telah menuduh para mufassir dan ulama fiqh telah menyusun tafsir dan kitab fiqh yang bias gender dan memrjinalkan wanita. Tuduhan ini tentu saja tidak benar . Memang bisa saja ijtihad dan pendapat mereka tidak luput dari kesalahan.Tetapi menuduh mereka memiliki motif jahat untuk menindas wanita dan melestarikan hegemoni laki-laki atas wanita, merupakan kecurigaan yang bias gender.Lagi pula , Sepanjang sejarah , telah lahir ulama-ulama wanita dalam berbagai bidang. Pendapat mereka pun tidak berbeda dengan pendapat ulama laki-laki.

Menurut lamya ‘’ gerakan feminisme yang berpendapat bahwa laki-laki dan wanita tidak hanya sederajat tetapi juga sama danidentik , pada kenyataanya mendorong wanita untuk meniru laki-laki dan melenyapkan kewanitaan mereka sendiri, gagasan ini dipraktekkan di barat dengan pakaian yang UNISEKS , gaya rambut , perhiasan , hiburan dan sebagainya. Hal semacam ini sangat didorong dan dihargai masyarakat yang menyebut dirinya modern dan up to date.Dan juga gagasan seperti ini dikembangkan dalam bidang karir dengan melakukan apa saja yang dilakukan oleh kaum pria. Padahal dengan mengejar karir untuk membuktikan bahwa wanita juga sama dengan pria ,kaum wanita tidaklah membebaskan diri melainkan mencekik lehernya’’ tandasnya.

Bahkan menurut Alice Denise Thompson,dalam bukunya Radical feminism Today seperti yang dikutip Dr.Syamsuddin Arif,pada beberapa dasawarsa terakhir , gerakan feminisme di Barat kelihatan mengalami Stigmanisasi dan nampak seperti ‘kena batunya’ sendiri.munculnya feminis-feminis radikal yang bersifat anti laki-laki, mengutuk system patriarki, mencemooh perkawinan , menghalalkan aborsi , merayakan lesbianisme dan revolusi seks , justru menodai reputasi gerakan itu.Bagi para feminis liberal,menjadi seorang istri sama saja disandera.Tinggal bersama suami sama dengan living with the enemy[4].

‘’Pendekatan islam terhadap gagasan pembebasan wanita , menurut lamya lebih lanjut , lebih difokuskan pada hasrat laki-laki menghargai keinginan , hak-hak sah kaum wanita .Islam tidaklah menentang keinginan-keinginan wanita untuk mengembangkan karirnya di luar rumah tangga , tapi itu tidaklah dibenarkan kalau tanggung jawabnya dalam keluarga belum terpenuhi, kan tidak lucu kalau demi karir seorang wanita mengorbankan keluarganya menjadi berantakan ‘’ tulisnya

Memang realitas kekinian telah banyak perubahan terhadap wanita,di zaman sekarang banyak wanita yang telah menduduki posisi-posisi tinggi di pemerintahan.Namun perlu diingat , sebenarnya realitas yang telah membalik peranan perempuan tidak bisa merubah ketentuan syariat tentang kewajiban-kewajiban seorang laki-laki terhadap perempuan seperti kewajiban memberi nafkah ,menjaga kehormatan istri dan sebagainya

Dan di barat sendiri gagasan feminis bukan tanpa kritik ,kritikan tajam terhadap radikalisasi feminis seperti yang dikutip Dr.Syamsuddin Arif datang dari banyak kalangan komentar Pat Robertson ,mantan calon presiden Amerika :Para feminis itu kerjanya Cuma ‘’mengompori’’ Wanita agar meninggalkan suami dan membunuh anak-anaknya sendiri , mengamalkan pedukunan , menjadi lesbian dan merontokkan kapitalisme.[5]

Dari premis-premis di atas bisa sedikit ditarik sebuah kesimpulan bahwa untuk memperjuangkan egalitarian antara wanita dan laki-laki para feminis seharusnya jangan bertolak dari apa yang pernah terjadi di dunia barat,disamping gagalnya para feminis barat dalam memperjuangkan hak-hak wanita juga karena problem yang terjadi di barat (ketimpangan hak laki-laki dan wanita) tidak sama dengan problem kita.

Wallahu a’lam

* Adalah mahasiswa UIN jakarta fakultas Ushuluddin dan Filsafat
[1] Artikel Dr Syamsuddin Arif,Menyikapi feminisme dan isu gender majalah Al-Insan no.03 vol .2 hal 93.2006

[2] Prof.DR.Azzumardi Azra.MA,Historisitas Kontemporer Hal : 332-337

[3] Ulasan mengenai pandangan negatif terhadap perempuan dapat dilihat dalam: Jhon marry elmann,Thinking about women (new york:Harcourt,1968)

[4] Artikel Dr Syamsuddin Arif,Menyikapi feminisme dan isu gender majalah Al-Insan no.03 vol .2 hal 93.2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kotak saran 'en' kritik