width:

08 Oktober 2008

Memaknai Kebebasan Beragama

Pada era postmodern sekarang ini kebebasan beragama sering terdengar. Ia banyak digaungkan di forum-forum kajian ilmiah, di podium politik, yel-yel para demonstran. Banyak yang mengatasnamakan kebebasan merenggut kebebasan orang lain, melabrak hak orang lain. Apakah makna kebebasan ini sudah difahami dengan baik oleh mereka yang selalu berceloteh tentang kebebasan ?

Secara luas penafsiran kebebasan sendiri tidak ada yang baku. Penafsiran-penafsiran sejak dulu hingga sekarang baik yang berupa undang-undang konvensional Negara maupun kaidah-kaidah keadilan semuanya akan berakhir pada satu kesimpulan bahwa kebebasan itu tidak bersifat mutlak (terbatas) dan tidak merugikan orang lain. Kalau kebebasan dimaknai secara mutlak sama artinya dengan anarkisme yang selalu melabrak hak dan kebebasan orang lain. Dalam sebuah sistem sipil yang teratur, keberadaan kebebasan yang mutlaktidak mungkin berlangsung. Manusia hidup di dunia ini tak sendirian. Manusia hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki batasan-batasan, tatacara dan sistem hidup sendiri. Kebebasan yang logis atau realitis maupun yang sistematis adalah kebebasan yang terikat dengan hak-hak orang lain, kepentingan umum dan ruang lingkup syariat Tuhan atau sistem undang-undang sipil dalam sebuah negara.
Islam adalah agama yang sejak kelahirannya selalu mengumandangkan akan pentingnya sebuah kehormatan manusia. Hal ini nantinya akan melahirkan sebuah kebebasan dan persamaan.
Prof. Dr. Wahbah al Zuhaily membagi kebebasan beragama dalam tiga corak. Pertama, kebebasan perseorangan (individual) yang meliputi hak keamanan, terjaga privasinya kebebasan bertempat tinggal dan terjaganya akal manusia. Kedua, kebebasan politik meliputi kebebasan berpendapat dan beragama, melaksanakan ritual keagamaan, pers, serta berserikat dalam berpolitik dengan dasar musyawarah. Ketiga, hak dan kebebasan ekonomi-sosial meliputi hak memperoleh pekerjaan, perlindungan kesehatan, tanggungan sosial yang tercermin dengan adanya kewajiban zakat dan macam-macam shadaqah, qurban, pembayaran kafarat.
Hak dan kebebasan yang telah ditetapkan dalam Islam ini sudah memenuhi kebutuhan manusia kan sebuah kebebasan. Baik urusan duniawi maupun ukhrawi. Kebebasan yang menyangkut keagamaan sering menjadi polemik dan salah paham, diatur dan dirancang secara lentur dan fleksibel baik sesama muslim ataupun yang berkait- kelindan dengan dengan agama lain.
Praktek sebuah Kebebasan Beragama menurut Islam
Syariat Islam telah menetapkan kebebasan melaksanakan ajaran-ajaran pelbagai agama ( baik Islam atau bukan). Hal ini bertujuan agar kebebasan ini tidak mengakibatkan kekufuran bagi umat Islam dan kesesatan yang bersifat menentang simbol-simbol ke-Islaman. Rekaman realita kebebasan beragama sepanjang sejarah Oslam bisa dilihat dalam piagam Madinah. Rasulullah Saw telah menetapkan kebebasan orang Yahudi dengan ketiga golongannya di Madinah untuk melaksanakan simbol-simbol keagamaan mereka. Dalam piagam itu disebutkan :
”Orang Yahudi dari bani ‘Auf merupakan satu umat bersama orang mukmin. Bagi orang Yahudi adalah agama mereka bagi orang Islam adalah agama mereka, kecuali orang yang dzalim dan berdosa. Sesungguhnya ia tidak dirusakkan atau dibinasakan kecuali oleh dirinya sendiri dan keluarganya.”
Sahabat Umar Ra dalam suratnya yang dikirim kepada penduduk Baitul Maqdis mengatakan :”Ini adalah apa yang diberikan Umar kepada penduduk Eliya (Quds) yakni keamanan. Mereka diberi keamanan terhadap diri, gereja dan juga agama mereka serta salah satu mereka tidak akan disakiti”.
Penyerangan sahabat Abu Bakar Ra terhadap pembangkang zakat bukanlah merupakan pelanggaran kebebasan beragama. Karena mereka telah keliru ketika menganggap bahwa zakat khusus dizaman Nabi dengan bepegang pada makna dzahir ayat ”ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu mensucikan mereka. Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (al Taubah : 103)
Mereka telah kelewatan dalam melakukan kesalahan pemahaman sehingga membuka lubang besar dalam Islam yang berakibat pada penghancuran Islam secara perlahan-lahan.
Dari catatan sejarah diatas membuktikan bahwa Islam adalah agama yang menyerukan kebebasan berkeyakinan dan memberikan penjagaan serta perlindungan dalam berkeyakinan selama hal itu tidak ada perlawanan, celaan, menentang kewajiban akidah Islam.
Teori dan praktek Internasional
Kebebasan beragama juga mendapatkan tempatnya diluar Islam. Pasal 18 Deklarasi Universal HAM (Declaration of Human Raight) dalam resolusi majlis umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 terdapat 4 ayat yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran termasuk kebebasan beragama, melaksanakan ibadah tanpa ada larangan dan paksaan. Hal itu selama terjaganya keselamatan umum, aturan hak-hak dan kebebasan dasar orang lain. Pernyataan ini pun diterima oleh negara-negara Islam di dunia karena selaras dengan kebebasan dalam Islam.
Di mata Islam pemaksaan suatu agama merupakan suatu pelanggaran. Allah berfirman ”Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al Baqoroh :256). Allah juga menyerukan penyebaran agama dengan hikmah dan kebaiakan ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. Al Nahl : 125).
Potret Kebebasan di Indonesia
Dari keduanya (Islam dan Internasional) teori tentang kebebasan beragama mengapung kembali di Indonesia. Kasus Ahmadiyah merupakan fenomena yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Ahmadiyah dianggap sebagai bentuk dari realisasi kebebasan beragama menurut madzhab AKKBBN sehingga wajib dilindungi dan diberikan hak sesuai UUD ’45 dan HAM. Tetapi golongan puritan (FPI) tidak ingin Islam dikotori dengan faham Ahmadiyah yang mereka anggap sesat dan telah menodai Islam.
Kita bisa menilai Ahmadiyah itu sesat atau tidak kalau kita tahu apa itu kebebasan beragama dan apa itu kesesatan dalam agama. Wallahu’alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kotak saran 'en' kritik