width:

08 Oktober 2008

tafsir esoterik-sufistik al-Ghazali

Oleh: Muhammad idris*

Prolog


“ Sesungguhnya al-Qur’an memiliki aspek lahiriah dan aspek batiniah,akhir dan awal”[1]


Kandungan makna hadits di atas menyiratkan bahwa ayat-ayat al-qur’an memiliki kapasitas makna ganda ‘lahir dan batin’ , esoteris dan eksoteris atau makna-makna luar (harfiah) ada juga makna-makna dalam (substansial).


Tulisan pendek ini hendak mengetengahkan corak pemikiran al-Ghazali dalam kajian tafsir Esoterik-sufistik.


Membaca judul dan tema artikel ini, mungkin dalam pikiran kita timbul sebuah pertanyaan Apa al-Ghazali sempat memulis kitab tafsir??kemudian kalau benar beliau pernah ‘menganggit’ kitab tafsir? Pertanyaan berikutnya, lalu dimana kitab tafsir tersebut?

Diriwayatkan dari berbagai sumber bahwa beliau telah menulis kitab tafsir al-Qur’an setebal 40 jilid[2] ,az-Zabidi seorang komentator karya al-Ghazali dalam Ittihaf assa’adah ‘ala Syarhi ihya’ Ulumuddin juga mencantumklan kitab yaqut at-ta’wil fi-Tafsir at-tanzil berjumlah 40 jilid sebagai karya hujjatul Islam al-ghazali dalam disiplin tafsir.

Lantas di mana keberadaan kitab tersebut?! Sejarah merekam bahwa tentara mongol saat melakukan ekspansi ke negara-negara muslim di Timur, telah memporak-porandakan kota baghdad, pada tahun 1258 M pasukan mongol berhasil merebut jantung kota baghdad, mereka menghancurkan madrasah-madrasah , universitas-universitas dan perpustakaan di Baghdad.[3] Hemat penulis,Tidak menutup kemungkinan kitab yaqut at-ta’wil karya al-ghazali termasuk salah satu kitab yang menjadi korban ‘keganasan dan kebengisan’ tentara mongol saat memporak-porandakan ‘kota seribu satu malam’, yang dimana karya-karya al-Ghazali disimpan dalam perpustakaan.

Walaupun kita tidak bisa membaca dan menelaah kitab tafsir al-ghazali , setidaknya kita dapat membaca corak penafsiran tafsir al-Ghazali melalui karya-karya beliau seperti : Ihya’ Ulumuddin, misykatul anwar , I’lamul awam ‘anil ilmil kalam dan Qanun at-tanzil.

Definisi dan klasifikasi Tafsir

Tafsir secara harfiah berarti penjelasan atau komentar, sedangkan definisi tafsir secara istilah, Abu hayyan mendefinisikan tafsir sebagai Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, indikator-indikatornya ,masalah-masalah hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, sertta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi stuktur lafadz yang melengkapinya.[4]

Al-Farmawi memetakan metode penafsiran al-Qur’an menjadi empat:
1. Muqaran, adalah bentuk penafsiran dengan menggunakan metode komparasi (perbandingan) antara stu ayat dengan ayat lainnya, atau antara ayat al-Qur’an dengan Hadits atau komparasi penafsiran antar mufassir.
2. Ijmaly, adalah interpretasi ayat-ayat al-Qur’an dengan mengemukakan ayat secara global.
3. Tahlily, metode penafsiran dengan menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat-ayat al-Qur’an, terdapat tujuh macam kategori dalam bentuk penafsiran ini, yakni : 1) Tafsir bi al-Ma’tsur, adalah tafsir yang bersumber pada ayat-ayat al-qur’an sendiri , atau penjelasan yang ditransfer dari Nabi Muhammad SAW.
2) Tafsir bi al-Ra’y, tafsir yang menggunakan nalar ijtihadi
3) Tafsir al-Sufi, adalah tafsir yang memakai analisa sufistik atau mentakwilkan ayat al-qur’an dengan berdasarkan isyarat yang tampak bagi seorang sufi dalam derajatsuluknya.
4) Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, metode pendekatan kebahasaan dan sosial budaya
5) Tafsir al-Fiqhi, adalah tafsir yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum
6) Tafsir al-‘Ilmi, adalah tafsir yang menggali kandungan berdasarkan teori ilmu pengetahuan
7) Tafsir al-Falsafati, yakni tafsir yang menggunakan analisis disiplin ilmu filsafat [5]

Tafsir Esoterik-Sufistik al-Ghazali

Adalah Abu hamid muhammad bin muhammad al-Ghazali yang lebih akrab dengan sebutan al-Ghazali bukan saja terkenal sebagai seorang intelektual (faqih) tapi juga sebagai seorang sufi, beliau tidak hanya menguasai disiplin fiqh, ushul fiqh, Filsafat,ilmu kalam (teologi dalektik) bahkan tafsir dan hadits pun beliau kuasai dengan baik.

Dalam bidang tafsir beliau memiliki metode pendekatan esoterik-sufistik, menurut kaum sufi , Riyadlah atau spiritual yang dilakukan oleh seorang sufi untuk dirinya akan mengantarkan kepada suatu tingkatan dimana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terdapat dibalik ungkapan-ungkapan a-Qur’an. Limpahan keajaiban akan tercurahkan dalam hatinya , demikian pula pengetahuan spiritual yang dibawa ayat-ayat al-Qur’an . Inilah yang disebut dengan tafsir Isyari(esoterik-Sufistik). Artinya setiap ayat al-Qur’an memiliki makna lahir(aspek luar-harfiah) dan aspek batin (aspek dalam-substansial), makna lahir adalah makna yang secara mudah difahami akal fikiran, sedang makna batin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik ayat, yang tentunya hanya bisa disingkap oleh ahli suluk ( sufi).

Meskipun nalar manusia mampu menunjukkan bagian mana dalam al-Qur’an yang harus ditafsirkan secara esoteris, ia tidak dapat dengan sendirinya menjadi sumber penafsiran.Satu-satunya sumber penafsiran yang valid adalah apa yang disebut oleh al-Ghazali dengan ilmu mukasyafah (ilmu penyingkapan), dengan perangkat ilmu penyingkapan inilah makna-makna al-Qur’an menjadi diketahui.

Al-Ghazali menjelaskan lebih lanjut dengan memberikan sebuah contoh metode penafsiran esoteris-sufistik dari kisah nabi musa a.s, dalam surat at-Thaha, ketika nabi Musa mencapai api yang ia lihat dari kejauhan, Tuhan memanggil dia dan berfirman “ Sesungguhnya Aku inilah Tuhan-Mu , maka tinggalkanlah terompahmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci (Thuwaa) “ menurut al-Ghazali Nabi Musa memahami perintah ‘Tinggalkanlah terompahmu’ sebagai pengasingan dari kedua dunia (al-Kawnayn), dia mematuhi perintah itu secara lahiriah -dengan menanggalkan terompahnya- sekaligus secara batiniah (substansial) dengan membuang kesua dunia ini (al-Alamain), inilah peringatan yang dimaksudkan dengan contoh ini, yakni perpindahan dari satu hal ke hal yang lain, dari aspek lahir ke aspek batin.[6]

Corak pemikiran tafsir esoteris al-Ghazali semakin kentara ketika beliau ‘mengcounter’ pendapat para mufassir yang mengecam para ahli tasawuf ( Sufi ) dalam menafsirkan al-Qur’an. Mereka para mufassir menjadikan hadits nabi - “Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri memiliki tempat di neraka” - Sebagai hujjah untuk mengecam penafsiran dengan menggunakan pendekatan esoteris yang telah dilakukan oleh para sufi. Disamping itu hasil interpretasi yang dihasilkan oleh para sufi dalam ayat tertentu bersebrangan dengan otoritas Ibnu Abbas dan mufassir lainya, serta penafsiran esoteris dapat ‘menggered’ pelakunya ke dalam jurang kekufuran.[7]

Pernyataan para mufassir yang mengecam para sufi dalam menafsirkan al-Qur’an disanggah ole al-Ghazali, beliau mengungkapkan “ ketahuilah bahwa manusia yang mengklaim bahwa al-Qur’an tidak memiliki makna kecuali yang telah disampaikan melalui tafsir lahiriah (eksoteris), sedang mengakui keterbatasan kemampuannya.Dia benar dalam pengetahuanya, namun ia salah dalam penilaiannya bahwa semua orang memiliki tingkat kemampuan seperti mereka”.[8]

Ibnu Qayyim al-jauziyah menyatakan bahwa tafsir yang dilakukan oleh kaum sufi tidaklah terlarang, selama memenuhi empat syarat,yaitu:
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (aspek luar)
2. Makanya sendiri shahih
3. pada lafadz atau ayat yang ditafsirkan memang mengandung makna Isyari (memiliki makna dalam)
4. Antara makna Isyari dan makna lahir terdapat hubungan
Ketidakmampuan mayoritas manusia memahami tafsir esoteris

Manusia terlahir di dunia dibekali oleh Allah SWT. Dengan berbagai karakter,kemampuan ,dan ketangkasan, suatu keahlian yang dimiliki oleh seseorang, belumtentu dimiliki oleh orang lain,sebagaimana jargon klasik yang berbunyi “likulli rijalin fannun” artinya setiap orang memiliki keahlianya masing-masing.

Kebanyakan kaum beriman tidak mampu memahami makna batin al-Qur’an dan karenanya tidak mampu melakukan penfsiran esoteris. Menurut al-Ghazali, penyebab ketidakberdayan mayoritas manusia dalam memahami makna batin adalah karena setan telah menyelubungi pikiran mereka, karena itu mereka tidak bisa mengakses ke dunia kedaulatan (al-Malakut) dan lawh mahfudz yang padanya makna batin al-Qur’an ditorehkan.Kemudian beliau menambahkan beberapa faktor lain yang menjadi pemicu ketidakberdayaan manusia dalam menyingkap makna dalam (substansial),yakni :
1. perhatian seseorang dialihkan kepada pengucapan huruf yang tepat (tahqiq al-Huruf bi-Ikhrojiha min Makhoorijiha)
2. Fanatisme terhadap madzhab tertentu yang mencegah seseorang untuk memikirkan gagasan yang belum akrab denganya.
3. Kegelapan hati manusia yang disebabkan oleh dosa yang sering ia lakukan, yang karenanya hati menjadi gelap sehingga tidak mampu meyibak makna dari teks al-Qur’an
4. Faktor terakhir adalah, mereka terhegemoni oleh penafsiran yang telah dilakukan oleh mufassir eksoteris, serta meyakini bahwa tidak ada makna dari teks al-Qur’an selain dari apa yang telah dilakukan oleh ibnu abbas,mujahid dan yang lainnya.Hal tersebut diperparah dengan keyakinan bahwa melakukan penafsiran yang bersebrangan dengan Ibnu abbas, Mujahid dan sahabat lainyya termasuk penafsiran dengan pendapat pribadinya, yang dapat menywebabkan pelaku mendapatkan ‘tiket neraka’.

Epilog

Produktifitas dan terobosan yang dilakukan oleh seorang al-Ghazali pada abad ke-5H, untuk mendiskusikan pembacaan al-Qur’an melalui pendekatan tafsir Isyari (esoteris-sufistik) telah mewarnai bentuk penafsiran sebelumnya yang bhanya berkutat pada makna lahir al-Qur’an. Kemudian ada hal yang layak untuk kita diskusikan lebih lanjut, khususnya mengenai eksistensi tafsir esoteri-sufistik dalam khazananah intelektual kita.

* Adalah mahasiswa semester satu UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
1 Abu Hamid al-Ghazali ‘Ihya’ ‘Ulumuddin’ vol I hal 290 darul kutub al-‘arabi
2 Nicholas Heer ‘ The heritage of sufism’ pen: Ribut wahyudi Pustaka sufi hal 1-2.
3 www.irwanmasduqi83.blogspot.com,dalam dalam makalahnya yang berjudul Abdul Karim al-Jili sufistik-prolifik era kemunduran Islam dipresentasikan di lakpsedam Pci-Nu mesir
4 Manna’ Khalil Qathan ‘Mabahis fi ulum al-Qur’an’ pen : H.Aunur rafiq lc.Ma pustaka al-Kautsar hal 409 cet;2007
5 Kontekstualisasi Turats,purna Siswa lirboyo 2005, hal 12-13
6 Abu hamid al-Ghazali’Misykat al-Anwar hal 21 dar kutub al-‘ilmiyyah
7 Abu hamid al-Ghazali,Ihya’ Ulumuddin vol I hal 290
8 Ibid



Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kotak saran 'en' kritik