width:

08 Oktober 2008

MENYIBAK ‘TRAGEDI IBNU RUSHDI’

prolog
Adalah Ibnu Rusdhi seorang faqih,Qadhi dan filsuf kenamaan yang di barat dikenal dengan Averroes.Pemikiran beliau yang sering dikaji di kaum sarungan ‘Pesantren’ hanya lah produk pemikiran fiqh-nya yang tertuang dalam kitab yang berjudul Bidayah al-mujtahid..para santri belum akrab -untuk tidak mengatakan tidak akrab- dengan karya-karya beliau seperti Tahafut-tahafut al-falasifah (kitab yang berisikan penyerangannya terhadap pemikiran sang Hujjatul islam al-Ghazali yang menenyerang filsafat sebagaimana yang tertuang dalam dua karya al-Ghazali yang bertitel tahafut al-falasifah dan munqidz min al-Adhlalal ),atau kitab Fash al-Maqal yang membahas tentang kesesuaian akal dan wahyu atau filsafat dan agama.

Tulisan pendek ini tidak akan membahas penyerangan beliau terhadap pemikiran al-ghazali ,Tulisan pendek ini bermula dari kemusykilan saya ketika mencoba mempertanyakan pertanyaan « mengapa Ibnu Rushdi tidak begitu dikenal oleh orang islam dan mengapa dua kitab yang beliau tulis yakni tahafut at-tahafut dan fashl al-maqal tidak mendapat apresiasi oleh kaum muslimin ???????.Dengan segala keterbatasan pemahaman yang saya dapatkan,sebenarnya saya kesulitan untuk menyibak sisi sosiologis Rusdhi .Berbicara tentang Ibnu Rushdi adalah berbicara tentang akal yang pernah ditolak oleh masyarkatnya, dan diterima oleh masyarakat lain yaitu barat. Sangat sulit memang untuk membahas secara sosiologis kegagalan pemikiran Ibnu Rushdi dalam konteks Islam atau menyingkap sebab-sebab sosial yang mengakibatkan pemikiran Ibnu Rushdi gagal dilingkungan Islamnya sendiri. Padahal menurut Hasan Hanafi pemikiran Ibnu Rushdi adalah sebuah proyek besar yang ia persembahkan untuk masyarkatnya yaitu masyarakat Islam.
Barangkali sebelum kita menyingkap sebab-sebab sosial yang melatarbelakangi kegagalan diskursus pemikiran Ibnu Rushdi, agar tidak keluar dari pembahasan ini, ada tuntutan yang memaksa untuk menguraikan sosok al-Ghozali yang telah mampu membentuk diskursus hingga menjadi diskurus kekuasaan pada satu sisi, dan menjadi diskursus kewibawaan bagi masyarakat Islam pada sisi lain, Dua wajah diskursus ini, pertama, karena dimensi Asy’ari dalam diskursus al-Ghozali seorang teolog sekaligus seorang Faqih adalah merupakan dimensi yang memperkuat kekuasaan politik dan memberi legalitas dominasinya dan supermasinya yang diktator secara ideologis. Adapun yang kedua, adalah karena dimensi sufi yang dibantu dengan dua sisi sunni dan gnostisme, sehingga menarik kalangan umum dan khusus secara bersamaan. Disamping itu, diskursus Ghozali sengaja dibentuk oleh dirinya untuk kekuasaan politik pemerintahan sunni sebagai senjata idielogi dalam perseteruanya melawan kekuasan pemerintahan syi’ah.
Maka diatas semuanya, tidak aneh bila diskursus al-Ghozali merupakan diskursus yang telah menguasai dunia Islam sejak abad kelima hijriyah, dan kira-kira sampai sekarang. Julukan yang diperolehnya sebagai “hujjatu al-Islam” adalah merupakan julukan yang tidak pernah dan takkan pernah disandang sarjana lain,dan karya beliau yang berjudul Ihya’ ulumuddin merupakan karya ‘Teragung’ dalam sejarah literatur islam karena karya itu menempati posisi kedua setelah Quran menurut pandangan mayoritas masyarakat Islam. Tidak sembarang orang yang telah meninggikan posisi “ihya” dengan pujiannya yang telah menarik pandangan masyarakat Islam itu, diantaranya adalah Syekh Muhyiddin al-Nawawi. Beliau mengatakan “ Ihya hampir-hampir serupa dengan Quran” lebih lanjut beliau mengatakan “Apabila karya-karya Islam itu hilang, dan karya Ihya tetap ada, maka pasti terasa cukup”.
Dari uraian singkat ini, maka untuk membahas secara sosiologis kegagalan pemikiran Ibnu Rushdi dan kesuksesannya dapat kita batasi menjadi dua batasan penguraian.
Pertama, sebagaimana kita mengetahui bahwa filsafat Arab-Islam yang terpengaruh filsafat hellenisme telah berlanjut sampai mendiangnya Ibnu Rushdi tahun 1198 M. Maka bagaimana dan kenapa gerakan filsafat itu hilang dari daratan pemikiran Islam ?.
Kedua, kekuatan sosial dan bentuk idielogi apa yang memiliki pengaruh besar dalam kawasan pemikiran Islam sejak itu, tepatnya dimulai dari abad ketiga belas masehi ? sampai-sampai pemikir besar semacam Ibnu Khaldun (1406 M), perhatianya lebih besar kepada aliran sufi ketimbang aliran filsafat, bahkan dalam karyanya al- Muqaddimah, pasal dua puluh empat berbicara tentang kebatilan filsafat.
Kehidupan rasional dalam tradisi pemikiran filsafat Islam mengalami proses pasang surut, setelah Ibnu Rushdi meninggal dunia adalah merupakan titik kelemahan dinamika kreasi dan orisinalitas kesinambungan pemikiran filsafat, padahal sebelumnya, dalam beberapa dekade sejarah pemikiran filsafat Islam mengukir sejarah gemilang, Sameh Zaen menunjukan bahwa pasca meniggalnya Ibnu Rushdi merupakan akhir redupnya kobaran pemikiran kreatif yang telah menyinari dunia Islam dalam beberapa abad.
Banyak kalangan menunjukan bahwa kegagalan pemikiran Ibnu Rushdi sangat disebabkan oleh peran ideologi yang dimainkan oleh para fuqaha Maliki yang ada diseluruh barat Islam (Maghrib-Andalusia), karena sejak kepandainya dalam bidang filsafat dan sikap keterbukaanya telah mengantarkan pada posisi penting dalam pemerintahan al-Muwakhidun, tepatnya pada masa kerajaan Abu Ya’qub bin Abdul Mukmin bin Ali, berkat jasa baik sahabat karibnya Ibnu Thufail yang memperkenalkan dirinya kepada penguasa, sehingga terjalin erat dengan kerajaan.
Walaupun yang perlu di ingat bahwa kenyataan yang sangat menentukan hubungan erat antara Ibnu Rushdi dengan penguasa ini adalah tertumpu pada persoalan landasan ideologi dan pemikiran, karena pijakan dasar ideologi pemerintahan al-Muwakhidun tersumber dari pesan keagamaan yang mengembangkan bentuk filosofis. Pandangan ini merupakan hasil gagasan pendirinya Muhammad Bin Toumert yang membangun akidah negara berdasarkan korelasi antara wahyu dan akal, jargon yang digulirkan untuk mengembangkan landasan akidah itu adalah “Meninggalkan taklid dan kembali pada ushul”, hal inilah yang kemudian menjadi kontribusi besar bagi pribadi Ibnu Rushdi dalam merancang bangun pemikiran filsafat melalui proyek pembacaan kembali kepada ushul filsafat, terutama filsafat Ariestoteles.
Berawal dari hubungan pemikiranya dengan kebijakan al-Muwakhidun ini, Ibnu Rushdi dijadikan tempat rujukan persoalan keagamaan masyarakatnya, selain itu, ia menjadi dokter khusus kerajaan, menggantikan sahabat karibnya Ibnu Thufail yang usianya semakin senja. Pada masa ini (580 Hijriyah) Ibnu Rushdi merilis karya filsafatnya, terbukti ia telah mengomentari karya Ariestoteles yaitu; “Ma Ba’da al-Thabi’ah”, dan pada masa yang sama, penguasa (Abu Ya’qub) yang mendorong Ibnu Rushdi umtuk menyingkap filsafat Ariestoteles meniggal dunia, tahta kerajaanpun kemudian diambil alih oleh anaknya Ya’qub al-Manshur, yang pada awal kepemimpinanya melakukan hal serupa dengan ayahnya, bahkan seringkali berdialog seputar pemikiran filsafat sehingga Ibnu Ruhdi tidak segan mengatakan “dengarkan hai saudaraku”. Kedekatan inipun membuat gerah pribadi Ibnu Rushdi dari kecurigaan orang-oarang yang membencinya, sehingga Ibnu Rushdi mengungkapkan bahwa “Sesungguhnya Amir al-Mukminin lebih banyak mendekatiku ketimbang aku mengharapkanya”. Namun kepemimpinan al-Manshur pada akhirnya hanya tercatat sebagai sejarah buruk dalam sepanjang sejarah Islam, karena pada masa kepemimpinanya tidak tercatat kacuali “tragedi Ibnu Rushdi”.
Adalah merupakan kenyataan sejarah bahwa pluralitas akidah dan aliran Fiqh dalam daratan Masyriq tidak berpengaruh dalam daratan Maghrib yang mayoritas beraliran Maliki, alih-alih, terbukti bahwa Ibnu Rushdi ketika menulis kritik terhadap aliran teologi mengadu tidak bisa mencari karya-karya Mu’tazilah. Selain dari pada itu, mayoritas masyarakat maghrib yang barbarian masih menjadi penghalang kemajuan Andalusia, walaupun kita mengetahui bahwa penguasa-penguasa al-Muwakhidun mendorong keilmmuan para sarjananya.
Dari hal diatas, kita dapat memahami kegagalan pemikiran Ibnu Rushdi dari segi sosiologis, yang menurut Muhammad Arkon dapat dipusatkan pada satu faktor yaitu sedikitnya jumlah cendekiawan yang mengetahui baca tulis dalam bahasa Arab. karena pada saat itu, mayoritas terbesar penduduk Maghrib adalah barbarian, yang sudah tentu, alat komunikasi yang digunakanya adalah bahasa barbar.
Untuk mempertegas hal itu, menurut Arkoun bahwa penguasa-penguasa al-Murabithin (pemerintahan sebelum al-Muwakhidun) dan pemimpin thariqah-thariqah sufi hampir seluruhnya dari masyarakat Barbar. Maka jelas, mereka yang telah menyebarkan Islam dengan jalan pengunaan “budaya oral”, fenomena sosio-kultur dan bahasa inilah yang telah meluas dalam sepanjang sejarahnya sampai muncul gerakan reformasi yang dikomandai Mohamad Bin Tomert.
Apabila persoalanya seperti itu, sangat wajar bila tragedi yang menimpa Ibnu Rushdi pada masa al-Manshur disebabkan oleh kedengkian para fuqaha atas ketidak berdayaanya memahami pemikiran Ibnu Rushdi, maka disaat mereka mampu mendekati khalifah al-Manshur, mereka berhasil mempengarui format negara yang semula bebas mengembangkan logika dan berusaha memadukan antara filsafaat dan wahyu, berubah menjadi berbalik menyerang yang langsung dikomandai oleh al-Manshur sendiri, lewat resolusi penguasa ini terjadilah pembakaran karya-karya Ibnu Rushdi, selain itu, setelah penghakiman Ibnu Rushdi secara terbuka dimasjid agung Cordova yang dihadiri para fuqaha dan jajaran pejabat serta masyarakat Maghrib, maka perkara yang diputuskan adalah pengungsian Ibnu Rushdi dikampung al-Yasanah, kampung yang mayoritas dihuni oleh orang-orang yahudi. Ada penafsiran yang memandang kejadian ini secara umum bahwa kebencian terhadap ilmu –ilmu logika dan sikap penolakan terhadap ilmu filsafat yang berhasil memobilisasi pemikiran umat Islam ketika Ghozali mengibarkan kerancuan pemikiran para filosof, sehingga mempunyai dampak negatif kepada para filosof muslim, karena dampak itu mengakibatkan para filosof muslim sering tertuduh sebagai zindiq. Karya Ghozali yang mengungkapkan kerancuan pemikiran filosof itu adalah “Tahafut al-Falasifah” yang mendapat sambutan yang layak didartan Masyriq, kemudian didaratn Maghrib, karena karya itu tersebar didaratan Andalusia.
Pada konteks yang sama, tragedi yang menimpa Ibnu Rushdi disebabkan oleh faktor politik, menurut Dr. Muhammad ‘Abied al-Ghabirie faktor ini adalah penyebab utama atas tragedi yang menimpa Ibnu Rushdi. Karyanya “al-Dharuri Fi al-Siyasah” merupakan bukti kuat atas pandangan Ghabirie, karena menurutnya karya itu ditulis ketika al-Muwakhidun pada masa kerajaan al-Manshur dalam keadaan krisis.Maka dapat dsimpulkan bahwa karya itu ditulis sebagi usaha Ibnu Rushdi dalam melakukan “reformasi politik” (al-Ishlah al-Siyasi), diskurkus yang digulirkanya dalam karya itu tidak tertuju pada kondisi politik Islam secara umum, namun yang lebih penting adalah perhatianya terhadap realitas Andalusia, realitas bangsanya sendiri. Maka dalam karya ini Ibnu Rushdi sengaja mengkritik kondisi kediktatoran penguasa dan pandangan-pandanagan para Fuqaha yang menurutnya merupakan sebab utama hilangnya pemikiran filsafat dan keredupan cahayanya, karena saat itu, mereka adalah jumlah yang terbesar yang tersebar dikota Andalusia dan dunia Islam.
Dalam keadaan yang demikian, pantas untuk dikata bahwa Ibnu Rushdi adalah akal yang ditolak oleh budaya Islam, tersingkir dari sentral pemerintahan atas nama Islam yang dikuasai oleh diskursus Ghozali-Asy’ari.
Adalah merupakan kenyatan sejarah yang sulit dibantah bahwa setiap penggalan sejarah manusia atau masyarakt manapun selalu ada pertentangan dan perseteruan antara berabagai aliran pemikiran atau sudut pandang, namuan buru-buru yang harus menjadi perhatian bahwa dalam dunia Islam, sikap yang berkembang dalam menyikapi pertentangan pemikiran itu selalu saja memenangkan sebuah pemikiran dan memarginalkan pemikiran lain, walaupun hakekatnya kewibawaan suatu pemikiran tidak berarti menghilangkan secara utuh pemikiran yang lain, namun tanpa dapat dipungkiri dibalik itu ada akibat yang muncul bahwa pemikiran yang lain tidak dapat diterima dalam pentas pemikiran dan kejadian.
Ketika tampuk pemerintahan politik Islam dipegang oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan (661 M – 40 H), sehingga berdiri pemerintahan Umawiyah yang mempunyai karakteristik pemikiran yang menonjol adalah tradisional, akan tetapi pemikiran masyarakat Islam mampu berkembang pesat lewat diaolg internal, bentuk-bentuk yang menguasai saat iu adalah bentuk pemikiran revolusioner yang berbeda-beda, terbukti kemunculan Syiah pada satu sisi, dan kemunculan Kharijiah pada sisi lain, yang pada gilliranya, sampai mengkristal pada kemunculan gerakan Mu’tazilah ahlu al-‘Adli Wa al-Tauhid, dimana kehadiranya sebagai gerakan pemikiran mampu memberi andil besar dalam merubah pemerintahan keturunan Umawiyah menjadi kekuasaan ‘Abbasiyah (750 M - !33 H).
Ketika gerakan Mu’tazilah sampai pada puncak kekuasaanya pada masa khalifah al-Makmun (813 M – 198 H), Mu’tashim (833 M – 218 H) dan al-Wastiq (842 M – 228 H) , namun pada permulaan masa Mutawakil (847 M – 232 H) struktur pemikiran masyarakat mengalami perubahan yang dahsyat. Perlawanan yang sengit terhadap pemikiran Mu’tazilah dan berusaha menyingkirkanya merupakan kesaksian yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, sikap pelawanan itu bersumber dari kalangan para fuqaha dan mayoritas perawi Hadis serta kaum tradisionalis yang tesebar ditengah-tengah para pemikir, hal inilah yang kemudian pada masa Mutawakil menjadi unsur yang kuat dalam menciptakan sikap terorisme melawan Mu’tazilah dan tradisi intelektualnya.
Dan, akhiran walaisa akhiran, ketika Ghozali sebagaimana telah penulis singgung diatas telah menutup pintu pemikiran bebas, sampai-sampai dari akibat pengaruhnya sebagian kalangan memandang bahwa pemikiran filsafat dan para filosof didunia Arab-Islam tidak mendapat tempat sampai sekarang. Akan tetapi kehadiran pemikiran Ibnu Rushdi telah mengembalikan pemikiran Arab-Islam pada karakteristiknya yang rasional, bahkan tidak berlebihan apabila kita mengatakan bahwa pemikiran Ibnu Rushdi adalah merupakan bukti konkrit atas orisinalitas pemikiran rasional dalam peradaban Islam, dan warisan intelektual yang dapat kita kedepankan, walaupun mungkin kedua yang penulis kemukakan itu, dalam konteks indonesia masih merupakan perkara baru yang semestinya segera harus dilirik kalu tidak untuk segera diperhatikan.
Epilog
Sekelumit dari oret-oretan mengenai sosok Ibnu Rushdi antara kegagalan dan kesuksesannya dapat disimpulkan bahwa kegagalan beliau dalam membumikan filsafat bukan karena ketidakmampuan beliau dalam menguraikan kesesuaian antara akal dan wahyu namun lebih disebabkan faktor politis yang tidak berpihak kepada beliau,kemudian kita sudah selayaknya untuk mengkaji lebih jauh pemikiran beliau,semoga artikel ini dapat menstimulan kita untuk selalu obyektif dalam memahami sebuah sejarah.
disarikan dari berbagai sumber



2 komentar:

  1. Mang, masih bagusan blog'e qita!! he...he.. mana karyamu tentang orientalis vs oksidentalis, kutunggu sobat

    BalasHapus

kotak saran 'en' kritik